Seperti biasa, hari itu aku pulang dari kantor tepat jam 5 sore. Setibanya di rumah, aku langsung menuju kamar tidurku lalu ...bersiap-siap untuk mandi kemudian makan malam.
Setelah selesai makan, Winnie, adik perempuanku mengingatkan bahwa Brazil, salah satu tim sepakbola favoritku, akan bertanding melawan Portugal pada pukul 9 malam nanti. "Masih lama nih bola-nya. Luluran dulu ah…" kataku dalam hati sambil menuju kamar tidur. Sebenarnya dulu aku bukanlah gadis yang terlalu memperhatikan perawatan tubuh. Namun karena tuntutan dari pacarku, saat ini aku mulai lebih sering merawat tubuh.
Dari mulai menyabuninya dengan sabun khusus, luluran dan lain-lain. Sekarang aku sudah bisa menuai hasil kerja kerasku merawat tubuh. Kini aku mempunyai kulit yang lebih putih dan halus. Setelah sekitar 1 jam aku luluran, terdengar teriakan Winnie dari ruang TV "Teh! bolanya udah mau maen nih!!" Kemudian aku memutuskan untuk segera keluar dari kamar tidur dan menuju ruang TV. Aku sempat bingung karena di ruang TV aku hanya melihat Winnie saja. "Nie, Ayah nggak ada di rumah ya?" tanyaku. "Ada di kamar kok Teh…" jawabnya singkat. "Kok tumben sih? Biasanya si Ayah nggak mau ketinggalan kalo lagi ada siaran Piala Dunia…" tanyaku lagi. "Gak tau tuh. Ngantuk kali!" jawab Winnie cuek sambil tetap memperhatikan layar TV. Tak lama setelah aku duduk di sofa ruang TV, pertandingan pun dimulai. Sebenarnya aku bukanlah penggemar fanatik sepakbola seperti Ayah dan Winnie. Aku hanya mengikuti pertandingan beberapa tim saja, seperti Brazil, Argentina dan juga Spanyol. "Sayang banget Kaka nggak bisa main…" aku mengeluh karena pemain idolaku tidak dapat bermain karena terkena hukuman kartu merah pada pertandingan sebelumnya. Tanpa terasa, babak pertama yang menegangkan berakhir sudah. Mungkin karena tadi aku terlalu bersemangat dalam memberi dukungan kepada Brazil, aku merasa bahwa udara di dalam rumah menjadi sangat gerah. Akhirnya sambil menunggu babak kedua dimulai aku memutuskan untuk keluar rumah. "Nie, Teteh keluar dulu yah…" kataku kepada Winnie. "Iya Teh. Tapi jangan lama-lama yah. Entar keburu mulai bolanya…" kata Winnie mengingatkan. "Iya. Sebentar aja kok. Abis gerah banget nih…" jawabku sambil mengikat rambutku. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumahku saja. Malam itu aku memakai baju yang tipis dan ketat berwarna abu-abu serta celana pendek warna coklat. Karena tadinya aku tidak berniat untuk keluar rumah, maka aku sengaja tidak memakai bra. Aku sempat memperhatikan putingku tercetak cukup jelas di bajuku ini, tapi aku cuek saja karena aku pikir hanya keluar sebentar dan tidak akan jauh-jauh dari rumah. Setelah menutup pintu depan dan gerbang, aku pun mulai berkeliling di daerah sekitar rumahku. "Kok tumben ya sepi banget? Pasti karena lagi ada bola deh…" pikirku karena tidak biasanya di daerah rumahku yang masih terhitung daerah 'perkampungan' sudah terlihat sepi pada pukul 10 malam. Tanpa terasa cukup jauh juga aku berjalan dari rumahku hingga akhirnya aku sampai di sebuah pos jaga. Dari kejauhan aku dapat melihat ada 4 orang Bapak-Bapak di dalam pos jaga tersebut. Karena penasaran, aku kemudian berjalan mendekati pos jaga yang hanya diterangi oleh pencahayaan seadanya. Ukurannya juga memang tidak terlalu besar, namun dapat untuk menampung hingga 5-6 orang dewasa. 'Tok… Tok… Tok…' aku mengetuk tiang pos jaga tersebut dengan cukup kencang supaya Bapak-Bapak itu dapat mendengar ketukanku. "Permisi Bapak-Bapak…" kataku sopan sambil berdiri di depan pintu. "Eeh, ada Dik Tita…" jawab seorang Bapak yang posisi duduknya paling dekat pintu. Akhirnya aku dapat mengenali siapa saja yang sedang berada di pos jaga tersebut. Bapak yang duduk paling ujung bernama Pak Wawan, orangnya botak dan gendut tapi terkenal dengan keramahannya. Di sebelahnya bernama Pak Diman, berbadan besar, berkulit hitam serta wajahnya menurutku sangat jelek apalagi kepalanya ditumbuhi dengan rambut penuh uban. Lalu ada Pak Jono, berkulit hitam dan memiliki badan paling kurus dibandingkan dengan yang lainnya. Dan yang terakhir, bernama Pak Bara, kumisnya yang tebal menambah kegarangan wajahnya yang sangar dan penuh luka. Aku maklum saja, karena dulu Pak Bara adalah preman di daerah sini. Mereka semua adalah tetanggaku yang kutaksir usianya kira-kira sama dengan ayahku. "Dik Tita ngapain malem-malem keluar rumah?" sapa Pak Wawan. "Jalan-jalan aja Pak. Abis gerah banget di rumah…" aku mengatakan hal tersebut sambil mengibas-ngibaskan leher bajuku. "Emangnya Dik Tita nggak takut keluar rumah malem-malem gini?" tanya Pak Bara. "Kan ada Bapak-Bapak. Jadi saya bisa tenang deh…" jawabku sambil tersenyum. Sekilas aku melihat ke 4 Bapak itu memandangi puting payudaraku yang semakin tercetak jelas di baju ketatku akibat keringat yang membasahi tubuh bagian depanku. Mungkin karena takut aku menyadarinya, mereka semua langsung mengalihkan pandangan mereka ke arah TV yang sudah menayangkan pertandingan babak kedua. "Oh iya Bapak-Bapak. Saya boleh ikutan nonton bola bareng-bareng nggak?" tanyaku. "Emangnya Dik Tita suka bola juga ya?" tanya Pak Diman. "Lumayan suka nonton juga sih. Apalagi pas Piala Dunia kayak sekarang…" jelasku kepada Pak Diman. "Oh Gitu? Ya udah nonton bareng-bareng aja sama kita di sini. Saya mah seneng banget kalo Dik Tita mau nemenin kita-kita nonton bola. Betul kan Bapak-Bapak?" balas Pak Wawan dengan tersenyum lebar sehingga menunjukkan giginya yang tak terawat. "Betul!!" Jawab Bapak-Bapak yang lain dengan serempak. Aku hanya bisa tersenyum menahan geli mendengar jawaban dari Bapak-Bapak ini. Karena merasa akan lebih seru menonton pertandingan dengan mereka, tanpa pikir panjang lagi aku pun masuk ke dalam pos jaga lalu mengambil posisi duduk di atas tikar tepat di tengah-tengah mereka. Karena takut adik perempuanku kuatir, maka aku mengabarkan lewat SMS bahwa aku sedang menonton bola di rumah tetanggaku. Aku juga mengingatkannya agar tidak mengunci gerbang dan pintu depan apabila aku pulang agak malam. Setelah yakin SMS-ku sudah terkirim, aku pun menonton bola bersama Bapak-Bapak tersebut sambil makan kacang tanpa memikirkan bahwa kacang dapat menumbuhkan jerawat pada kulit wajahku yang mulus. Di saat sedang menonton bola, aku merasa mereka tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah paha putih mulusku dan juga ke bagian payudara yang seolah-olah mengalahkan daya tarik pertandingan Brazil melawan Portugal. Mereka menatapnya dengan tidak berkedip. Aku yakin saat ini mereka semua pasti mulai terangsang dan ingin sekali dapat menikmati tubuhku. Entah kenapa saat itu sempat terlintas di pikiranku untuk menggoda Bapak-Bapak tersebut. Mungkin karena selama ini aku belum pernah sekalipun melakukan persetubuhan dengan orang yang lebih dewasa. Aku pun berpura-pura mengantuk lalu menyenderkan badanku pada dinding pos jaga. Aku menutup mata supaya Bapak-Bapak itu dapat merasa lebih leluasa untuk menggerayangiku apabila aku sedang tertidur lelap. Seperti dugaanku, setelah aku pura-pura tertidur pulas, aku merasakan tanganku diangkat ke atas oleh salah seorang dari mereka, lalu orang tersebut memegangi pergelangan tanganku dengan cukup kencang. "Umpanku udah mulai mengena nih…" kataku dalam hati. "Eh, tutup dulu pintunya biar aman…" walaupun mataku tertutup, aku dapat mengetahui bahwa suara tadi adalah milik Pak Wawan. Tak lama setelah aku mendengar suara pintu pos jaga ditutup, aku merasakan ada sebuah tangan mulai meraba-raba pahaku yang kemudian disusul oleh sebuah tangan yang besar dan kasar menyusup masuk ke dalam bajuku lalu meremas-remas kedua buah payudara milikku sekaligus memainkan putingnya. Mungkin karena melihat aku tetap tertidur, perlahan-lahan tangan yang tadinya meraba-raba pahaku mulai merambat ke atas hingga sampai ke payudaraku. Aku bahkan dapat mendengar suara nafas mereka yang semakin memburu. Tampaknya mereka sudah terbakar nafsu. Aku sendiri berusaha keras meredam gairahku yang mulai naik. "Eeeeeennggh…" aku akhirnya mengeluarkan desahan lembut menggoda ketika merasakan dua buah tangan secara bersamaan memilin puting payudaraku. Sementara itu aku merasakan ada yang sepasang tangan lain yang menarik celana pendek dan juga celana dalamku. "Memeknya Dik Tita bagus banget. Nggak ada jembutnya…" terdengar suara berbisik di bawah sana. Tiba tiba perasaanku seperti tersengat ketika dengan perlahan jari-jari tangan tersebut menyentuh dan menekan-nekan vaginaku yang sudah tidak tertutup apapun. Jari-jari tadi mulai merayap masuk dan menyentuh dinding kewanitaanku. Lalu aku merasakan benda tumpul dan basah, yang kuduga itu adalah sebuah lidah, mulai menyentuh bagian dalam vaginaku. Saat itulah aku pura-pura mulai tersadar lalu membuka kedua mataku. "Aaahh… Paak… Ja-jangan!! Jaaangaa… Mmmmmhhh…!!!" kataku terputus karena tiba-tiba mulutku dibekap oleh seseorang yang tadi ada di belakangku. Aku pura-pura meronta agar tidak terlihat seperti aku yang menginginkannya. Rupanya Pak Diman dan Pak Jono yang memainkan kedua buah payudaraku, sedangkan Pak Bara asyik menikmati vaginaku dengan lidahnya. "Pantes aja ada rasa gelinya…" pikirku dalam hati karena kumis Pak Bara terus menggesek-gesek bibir luar vaginaku sehingga menimbulkan sensasi yang berbeda. Akhirnya aku benar-benar larut dalam kenikmatan yang sedang melanda diriku. Pak Diman dan Pak Jono mulai membuka kaosku sehingga kini aku sudah dalam keadaan telanjang bulat. "Waaaah teteknya Dik Tita mulus bangeeet!!" komentar Pak Diman yang tepat berada di depan payudara kananku. "Bener Man! Udah pahanya mulus, teteknya putih lagi…" tambah Pak Jono ikut mengomentari payudaraku yang putih mulus terpampang dengan jelas di depan matanya. "Kalo Bapak lepasin Dik Tita janji nggak bakal teriak yah…" kata Pak Wawan yang hanya aku jawab dengan anggukan. Karena yakin sudah menguasaiku, Pak Wawan melepaskan bekapannya pada mulutku sehingga aku merasa sangat lega. "Aaaaaaaaaaaah…." aku mendesah akibat sentuhan mereka. Melihat diriku yang sudah pasrah tak berdaya, Pak Diman dan Pak Jono bersorak gembira. Mereka mengerubuti dan mulai menggerayangi tubuhku. Pak Diman dan Pak Jono meremas-remas kedua payudaraku dengan brutal sehingga membuat tubuhku merasa panas dingin. Tidak cukup puas hanya meremas-remas buah dadaku saja, Pak Diman kemudian menghisap payudaraku yang sebelah kanan, sedangkan Pak Jono mengenyot payudara bagian kiriku. "Teteknya Dik Tita emang manteb banget dah!!" ujar Pak Diman. Kelihatannya Pak Bara sama sekali tidak tertarik dengan apa yang dilakukan oleh teman-temannya terhadap tubuhku. Dia masih terlihat menikmati bibir luar hingga rongga dalam vaginaku lalu melakukan jilatan-jilatan dan menyedotnya. Tubuhku menggelinjang merasakan birahi yang memuncak karena merasa geli sekaligus nikmat di bawah sana. "Memeknya Dik Tita wangi deh!! Beda banget sama bini saya…" kata Pak Bara di sela-sela menikmati vaginaku. "Oooooooh… Aaaaaaahhh… Enaaaaakkk…" aku mengerang-erang keenakan. Sekarang Pak Diman, Pak Jono dan Pak Bara sudah mendapat jatah mereka masing-masing. Pak Wawan sepertinya juga tidak mau ketinggalan, dia mulai mencium dan menjilati leher mulusku semakin yang menggiurkan karena basah oleh keringat. Setelah Pak Wawan puas bermain di bagian leherku, dia menarik kepalaku dengan perlahan ke arah belakang sehingga kepalaku agak mendongak ke atas. Dengan penuh nafsu Pak Wawan langsung mencumbu serta melumat bibirku, lalu dia menyelipkan lidahnya masuk ke dalam mulutku hingga aku gelagapan. Walaupun bau nafas Pak Wawan sungguh tidak enak, tetapi yang bisa kulakukan hanyalah membuka mulutku dan membiarkan Pak Wawan memainkan lidahnya di dalam mulutku. "Eeeeeemmmmmhhh…. Eeeeehhhmmm…" erangku ketika mulai dikeroyok mereka berempat. Kini, tubuhku sudah seperti boneka bagi mereka, karena mereka bisa berbuat sesuka hati terhadap tubuhku. Mereka menikmati jatah mereka dengan penuh nafsu. Pak Diman dan Pak Jono terus menjilati kedua buah payudaraku serta menggigit kecil kedua putingku putingku yang sudah menegang itu. Pak Wawan terus menerus memainkan lidahnya di dalam mulutku, dan aku juga membalasnya dengan memainkan lidahku sehingga lidah kami saling membelit. Aku dapat merasakan kalau ludah kami berdua menetes-netes di sekitar bibir karena kami berciuman sangat lama. Dikerubuti dan dirangsang sedemikan rupa membuat aku merasakan gejolak yang luar biasa melanda tubuhku tanpa bisa kukendalikan. "Ooooh… Aaaaaaah… Nngggg… Aaaaagh…" aku mengerang dan menjerit keenakan. Pak Bara kini semakin membenamkan kepalanya di antara kedua pahaku, dan karena agak geli akupun merapatkan kedua pahaku sehingga kepala Pak Bara terhimpit oleh kedua paha mulusku. "Enak ya Dik Tita… Sluuuurrpp… dijilatin Bapak? Eehmmm… Sluuurrp…" tanya Pak Bara tanpa menghentikan jilatan dan hisapannya pada vaginaku terlebih dahulu. "Eeeeenak bangeeeet Paaak…!!" aku terus mendesah nikmat. Terus-terusan menerima serangan birahi secara bersamaan dari 4 orang pria yang berbeda pada daerah sensitifku, aku jadi tidak kuat menahan lama-lama sehingga dalam waktu kurang dari 10 menit tubuhku sudah seperti tersengat arus listrik yang menandakan kalau sebentar lagi aku akan mencapai orgasme. "Paaak Baraaa… Saayaaaa mauuu keluaaaarr!! Aaaaaaaaaaaah….!!!" aku berteriak dengan kencang. Tidak lama kemudian cairan orgasmeku mengalir keluar dari vaginaku. Pak Bara yang berada tepat di depan lubang vaginaku semakin liar menjilati vaginaku yang sudah sangat basah oleh cairanku tadi. 'Slurrpp… Sluurrrpp…' cairanku yang mengalir dengan deras dilahap oleh Pak Bara dengan rakus. "Wih!! Cairan memeknya Dik Tita manis dan gurih banget!!" komentar Pak Bara. Setelah cairanku sudah hampir habis, ke 3 bapak yang tadi masih sibuk dengan bagiannya masing-masing langsung menghentikan aktivitas mereka, kemudian mendekat ke arah vaginaku. "Mmmmmmhhhh…" desahku menerima jilatan demi jilatan pada sisa-sisa cairan orgasmeku yang masih ada di sekitar bibir vaginaku hingga mereka semua kebagian. "Sekarang Bapak-Bapak mau masukin penisnya ke dalam sini nggak?" aku bertanya sambil menunjuk vaginaku. "Mau banget dong Dik!!" jawab Pak Jono semangat. "Beneran nih nggak apa-apa kalo kita entotin Dik Tita rame-rame?" tanya Pak Bara dengan wajah tidak percaya. "Beneran kok Pak! Masa saya bercanda sih…" jawabku serius. "Wah Bapak-Bapak!! Yang punya udah ngebolehin tuh!!" kata Pak Jono dengan wajah senang sekaligus keheranan mendengar jawabanku barusan. Tentu saja mereka semua tidak menyia-nyiakan kesempatan di depan mata. Mereka semua langsung membuka baju dengan terburu-buru. Mereka pasti sudah sangat tidak sabar ingin merasakan kehangatan tubuhku yang sudah kupasrahkan untuk mereka berempat. Untuk lebih merangsang mereka, kubuka ikat rambutku sehingga rambutku kini terurai sampai menyentuh bahu. Sekarang ke 4 Bapak-Bapak ini sudah dalam keadaan telanjang bulat dengan penis mengacung tegak menghadap seorang gadis yang sepantasnya menjadi anak mereka. "Gede-gede banget!!" kataku dalam hati. Tentu saja aku kaget dengan ukuran penis milik Bapak-Bapak ini yang berukuran sekitar 17-18 cm dengan diameter yang sangat besar. Mungkin juga karena selama ini aku baru melihat penis yang ukurannya hanya mencapai 15 cm saja. Aku juga masih sempat memperhatikan, betapa kulit ke 4 Bapak ini hitam dan kasar bila dibandingkan dengan kulitku yang putih mulus. "Dik Tita pasti bakal keenakan dientot sama kita-kita…" kata Pak Diman kepadaku. Tadinya aku sempat merasa ngeri memikirkan Bapak-Bapak yang memiliki tubuh besar ini akan menjarah habis tubuh mungilku. Namun ternyata membayangkan semua itu malah membuat aku terangsang hebat dan gairahku naik tak terkendali. Aku tanpa sadar menanti dan berharap mereka akan memberikanku kenikmatan melebihi yang baru saja melandaku. "Siapa yang bakal duluan ngentotin Dik Tita?" tanya Pak Jono kepada teman-temannya. "Gue dulu deh!! Napsu gue udah di ubun-ubun nih!!" teriak Pak Wawan yang nampaknya sudah sangat tidak sabaran lagi untuk bisa menyetubuhiku. "Enak aja! Gue dulu dong!! Gue udah lama banget pengen ngentotin Dik Tita!!" teriak Pak Diman tidak mau kalah. Seperti kumpulan anak kecil yang sedang berebut mainan.
Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network
Tidak ada komentar:
Posting Komentar