Didi mengenal seks pada usia 18 tahun ketika masih sekolah. Waktu itu karena Didi yang bandel dikampungnya maka ia dikirim ke sekolah yang ada Pondok Pesantrennya di Jawa barat, Didi lalu dititipkan pada keluarga teman baik ayahnya, seorang Kiayi Fuad begitu Didi memanggilnya ia adalah seorang yang cukup berpengaruh, pak Kiayi mengelola pesantren itu sendiri yang lumayan besar.
Anak-anak mereka, Halmi dan Julia yang seusia Didi kini ada di Mesir sejak mereka masih berumur 12 tahun. Sedangkan yang sulung, Irfan kuliah di Pakistan. Istri Kiayi Fuad sendiri adalah seorang pengajar di sekolah dasar negeri di sebuah kecamatan. Didi memanggilnya Nyai Fifi, wanita itu berwajah manis dan berumur 40 tahun dengan perawakan yang bongsor dan seksi khas ibu-ibu istri pejabat. Sejak tinggal di rumah Kiayi Fuad Didi seringkali ditugasi mengantar Nyai Fifi, meskipun hanya untuk pergi ke balai desa atau pergi kota Kabupaten.
Meski keluarga Kiayi Fuad cukup kaya raya dan terpandang namun tampaknya hubungan antara dia dan istrinya tak begitu harmonis. Didi sering mendengar pertengkaran-pertengkaran diantara mereka di dalam kamar tidur Kiayi Fuad, seringkali saat Didi menonton
televisi terdengar teriakan mereka dari ruang tengah. Sedikitpun Didi tak mau peduli atas hal itu, toh ini bukan urusannya, lagi pula Didi kan bukan anggota keluarga mereka. Biasanya mereka bertengkar malam hari saat penghuni rumah yang lain telah terlelap tidur, dan belakangan bahkan terdengar kabar kalau Kiayi Fuad ada mempunyai wanita lain sebagai isteri simpanan.
"Ah untuk apa aku memikirkannya" bisik hati Didi.
"Biar saja Kiayi Fuad berpoligami yang penting aku dapat beronani sambil membayangkan tubuh bahenol Nyai Fifi, dan sekali kali ingin juga aku menyetubuhi isterinya pak Kiayi Fuad yang cantik itu". "Busyeeeet pikiran kotorku mulai kambuh lagi, Aah masa bodoh emang aku pikirin he heeeeee."
Suatu hari di bulan Oktober, Bi Tinah, seorang pembantu dan Mang Darta penjaga pesantren juga pulang kampung mengambil jatah liburan mereka bersamaan saat Lebaran. Sementara Kiayi Fuad pergi berlibur ke Mesir sambil menjenguk kedua anaknya di sana. Nyai Fifi masih sibuk menangani tugas-tugas sekolahan yang mana para muridnya hendak menghadapi ujian, Nyai Fifi lebih sering terlambat pulang, hingga di rumah itu tinggal Didi sendiri. Perasaan Didi begitu merdeka, tak ada yang mengawasi atau melarangnya untuk berbuat apa saja di rumah besar disamping pesantren. Mereka meminta Didi menunda jadwal pulang kampung yang sudah jauh hari direncanakan, dan Didi mengiyakan saja, toh mereka semua baik dan ramah padanya.
Malam itu Didi duduk di depan televisi, namun tak satupun acara TV itu menarik perhatiannya. Didi termenung sejenak memikirkan apa yang akan diperbuatnya, sudah tiga hari tiga malam sejak keberangkatan Kiayi Fuad ke Mesir, Nyai Fifi tak tampak pulang ke rumah hingga sore hari. Maklumlah ia harus bolak balik ke kabupaten mengurus soal ujian sekolah dikantor Dinas Pendidikan, jadi tak heran kalau mungkin saja hari ini ia ada di kota kabupaten, saat sedang melamun Didi melirik ke arah lemari besar di samping pesawat TV layar lebar itu. Matanya tertuju pada rak piringan VCD yang ada di sana. Dan dalam hati Didi penuh dengan tanda tanya. Dalam hati Didi berbisik
"Segera kubuka sajalah mana tahu ada film bagus untuk ditonton," sambil memilih film-film bagus yang ada disitu yang paling membuat aku menelan ludah adalah sebuah film dengan cover depannya ada gambar wanita telanjang.
Tak kulihat lama lagi pasti dari judulnya aku sudah tahu langsung kupasang dan..,
"Wow!" batinku kaget begitu melihat adegannya yang membangkitkan nafsu.
Seorang lelaki berwajah Arab sedang menggauli dua perempuan sekaligus dengan beragam gaya.
Sesaat kemudian aku sudah larut dalam film itu. Penisku sudah sejak tadi mengeras seperti kayu, malah saking kerasnya terasa sakit, aku sejenak melepas celana panjang dan celana dalam yang kukenakan dan menggantinya dengan celana pendek yang longgar tanpa CD. Aku duduk di sofa panjang depan TV dan kembali menikmati adegan demi adegan yang semakin membuatku gila. Malah tanganku sendiri meremas-remas batang kemaluanku yang semakin tegang dan keras. Tampak penis besarku yang panjang sampai menyembul ke atas melewati pinggang celana pendek yang kupakai. Cairan kentalpun sudah terasa akan mengalir dari sana.
Tapi belum lagi lima belas menit, karena terlalu asyik aku akan sampai tak menyangka Nyai Fifi isteri Kiayi Fuad sudah berada di luar ruang depan sambil menekan bel. Ah, aku lupa menutup pintu gerbang depan hingga Nyai Fifi bisa sampai di situ tanpa sepengetahuanku, untung pintu depan terkunci. Aku masih punya kesempatan mematikan power off VCD Player itu, dan tentunya sedikit mengatur nafas yang masih tegang ini agar sedikit lega. Aku tidak menyangka Nyai Fifi yang seorang guru dan isteri seorang Kiayi punya koleksi VCD porno atau VCD itu hasil rampasan dari tangan para santri-santri yang bengal yang kedapatan menyelundupkan VCD porno tsb ke dalam pondok pesantren. Karena rata-rata para santri yang ada dipondok pesantren itu adalah para korban Narkoba. Seketika timbul penyakit bengal ku, karena kenakalanku sewaktu dikampung aku ketahuan mengintip isteri tetangga yang sedang mandi sebab kenakalan itu aku dititipkan oleh ayahku pada keluarga Kiayi Fuad di Tasikmalaya di kota kecil di daerah Jawa Barat, sementara asalku dari pulau Sumatera. Dan aku sering memangil isteri pak Kiayi itu dengan sebutan tante Fifi dan terkadang juga kupanggil perempuan cantik itu dengan panggilan Nyai Fifi karena dia adalah isteri seorang Kiayi terpandang dan sangat kaya karena memiliki berhektar-hektar sawah dan kebun buah-buahan.
"Kamu belum tidur, Di??", sapanya begitu kubuka pintu depan.
"Belum, Nyai", hidungku mencium bau khas parfum Tante Fifi yang elegan.
"Udah makan?".
"Hmm.., belum sih, tante sudah makan?", aku mencoba balik bertanya.
"Belum juga tuh, tapi tante barusan dari rumah teman, trus di jalan baru mikirin makan, so tante pesan dua kotak nasi goreng, kamu mau?".
"Mau dong tante, tapi mana paketnya, belum datang kan?".
"Tuh kan, kamu pasti lagi asyik di kamar makanya nggak dengerin kalau pengantar makanannya datang sedikit lebih awal dari tante".
"Ooo", jawabku bego.
Nyai Fifi berlalu masuk kamar, kuperhatikan ia dari belakang. Uhh, bodinya betul-betul bikin deg-degan, atau mungkin karena aku baru saja nonton BF yah.
"Ayo, kita makan..", ajaknya kemudian, tiba-tiba ia muncul dari kamarnya sudah berganti pakaian dengan sebuah daster bermotif bunga-bunga yang longgar tanpa lengan dan berdada rendah.
Mungkin Nyai Fifi merasa kegerahan setelah memakai baju panjang dan rambutnya selalu tertutup jilbab seharian. Penampilan khas perempuan cantik itu sebagai isterinya pak Kiayi, bila ia berada diluar rumah mesti memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya. Walaupun sekujur tubuhnya tertutup baju panjang dan jilbab masih nampak seksi dan anggun, malam itu benar-benar membuatku jadi terpana dan bergairah ingin memeluk tubuhnya.
"Ya ampun Nyai Fifi", batinku berteriak tak percaya, baru kali ini aku memperhatikan wanita itu dalam keadaan tidak memakai jilbab dan baju panjangnya.
Kulitnya putih bersih, dengan betis yang woow, berbulu menantang pastilah perempuan cantik ini punya nafsu seksual yang liar, itu kata temanku yang pengalaman seksnya tinggi. Buah dadanya tampak menyembul dari balik gaun tidur itu, apalagi saat ia melangkah di sampingku, samar-samar dari sudut mataku terlihat indah payudaranya yang putih lembut.
"Uh.., apa ini gara-gara film itu?", batinku lagi.
Khayalanku mulai kurang ajar, atau selama ini aku melihat Nyai Fifi selalu memakai jubah panjang dan berjilbab jadi aku tidak tahu bentuk tubuhnya yang sebenarnya, seketika aku memasukkan bayangan Nyai Fifi ke dalam adegan film tadi.
"Hmm..", tak sadar mulutku mengeluarkan suara itu.
"Ada apa, Di?", isteri pak Kiayi itu memandangku dengan alis berkerut.
"Nngg.., nggak apa-apa Nyai..", Aku jadi sedikit gugup. Oh wajahnya, kenapa baru sekarang aku melihatnya begitu cantik.
"Eh.., kamu ngelamun yah, ngelamunin siapa sih? Pacar?", tanyanya.
"Nggak ah tante", dadaku berdesir sesaat pandangan mataku tertuju pada belahan dadanya.
Wow serasa hendak jebol celana yang kupakai oleh desakan penisku yang memberontak tegang.
"Oh My god, gimana rasanya kalau tanganku sampai mendarat di permukaan buah dadanya, mengelus, merasakan kelembutan payudara itu, oohh" lamunan itu terus merayap melambung tinggi.
"Heh, ayo.., makanmu lho, Di".
"Ba.., bbaik Nyai", jelas sekali aku tampak gugup.
"Nggak biasanya kamu kayak gini, Di. Mau cerita nggak sama tante Fifi".
"Oh my god, dia mau aku ceritakan apa yang aku lamunkan? Susumu itu Nyai, susumu yang tergantung indah aku remas-remas ya" bisik hatiku, aku mulai berfikir bagaimana bisa menyetubuhi isteri Kiayi Fuad yang montok dan cantik ini.
Pelan-pelan sambil terus melamun sesekali berbicara padanya, akhirnya makananku habis juga. Aku kembali ke kamar dan langsung menghempaskan badanku ke tempat tidur. Masih belum lepas juga bayangan tubuh Nyai Fifi.
"Gila! Gila! Kenapa perempuan paruh baya itu membuatku gila", pikirku tak habis-habisnya.
Umurnya terpaut sangat jauh denganku, aku baru 18 tahun.., dua puluh lima tahun dibawahnya. Ah, mengapa harus kupikirkan, persetan ah yang penting bagaimana caranya aku dapat menikmati tubuh montoknya.
Aku melangkah ke kamarku dan berbaring ditempat tidur, mencoba melupakannya, tapi mendadak pintu kamarku diketuk dari luar.
"Di.., Didi.., ini Tante Fi", terdengar suara tante Fifi yang seksi itu memanggil.
"Ah..", aku beranjak bangun dari ranjang dan membukakan pintu,
"Ada apa, tante?".
"Kamu bisa buatin tante kopi?".
"Ooo.., bisa tante".
"Tahu selera tante toh?"
"Iya tante, biasanya juga saya lihat Bi Tinah", jawabku singkat dan langsung menuju ke dapur.
"Tante tunggu di ruang tengah ya, Di".
"Baik, tante".
"Didi..?"
"Ya.., tante".
"Kamu kalau habis pasang film seperti ini lain kali masukin lagi ke tempatnya yah".
"Mmm.., ma.., ma.., maaf tante.." aku tergagap, apalagi melihat Tante Fifi isteri pak kiayi itu yang berbicara tanpa melihat ke arahku.
Benar-benar aku merasa seperti maling yang tertangkap basah.
"Di..?", Tante Fifi memanggil dan kali ini ia memandangi, aku menundukkan muka, tak kubayangkan lagi kemolekan tubuh istri Kiayi Fuad itu.
Aku benar-benar takut bercampur dengan nafsu.
"Tante nggak bermaksud marah lho, Di..",
Byarr hatiku lega lagi.?
"Sekarang kalau kamu mau nonton, ya sudah sama-sama aja di sini, toh sudah waktunya kamu belajar tentang ini, biar nggak kuper", ajaknya.
"Woow..", kepalaku secepat kilat kembali membayangkan tubuhnya.
Aku duduk di sofa sebelah tempatnya. Mataku lebih sering melirik tubuh Tante Fifi daripada film itu.
"Kamu kan sudah 18 tahun, Di. Ya nggak ada salahnya kalau nonton beginian. Lagipula tante kan nggak biasa lho nonton yang beginian sendiri..".
Tak kusangka ucapan isteri Kiayi Fuad begitu terang-terangan, padahal Nyai Fifi adalah seorang pendidik alias guru apakah karena dunia ini sudah semakin tua, atau isteri Kiayi itu yang nampaknya alim namun sesungguhnya memiliki nafsu syahwat besar yang tak tersalurkan.
Apa kalimat itu berarti undangan? Atau kupingku yang salah dengar? Oh my god Tante Fifi mengangkat sebelah tangannya dan menyandarkan lengannya di sofa itu. Dari celah gaun di bawah ketiaknya terlihat jelas bukit payudaranya yang masih seger dan bentuknya indah. Ukurannya benar-benar membuatku menelan ludah. Wooow. Posisi duduknya berubah, kakinya disilangkan hingga daster itu sedikit tersingkap. Yeah, betis indah dengan bulu-bulu halus, Hmm? Wanita 40-an itu benar-benar menantang, wajah dan tubuhnya mirip sekali dengan Marisa Haque, hanya Tante Fifi kelihatan sedikit lebih muda, bibirnya lebih sensual dan hidungnya lebih mancung. Aku tak mengerti kenapa perempuan paruh baya ini begitu tampak mempesona di mataku. Tapi mungkinkah..? Tidak, dia adalah istri seorang Kiayi yang terpandang, orang yang belakangan ini sangat memperhatikanku. Aku di sini untuk belajar.., atas biaya mereka.., ah persetan!
Tante Fifi mendadak memindahkan acara TVRI ke sebuah TV swasta.
"Lho.. kok?".
"Ah tante bosan ngeliatin acara di TV itu terus, ..".
"Tapi kan..".
?Sudah kalau mau kamu mau nonton yang lain nonton aja sendiri di kamar.." wajahnya masih biasa saja.
"Eh, ngomong-ngomong, kamu sudah hampir setahun di sini yah?".
"Iya tante..".
"Sudah punya pacar?", ia beranjak meminum kopi yang kubuatkan untuknya.
"Belum", mataku melirik ke arah belahan daster itu, tampaknya ada celah yang cukup untuk melihat payudara besarnya.
Tak sadar penisku mulai berdiri.
"Kamu nggak nyari gitu?", ia mulai melirik sesekali ke arahku sambil tersenyum.
"Alamaak, senyumnya.., oh singkapan daster bagian bawah itu, uh Tante Fifi.., pahamu", teriak batinku saat tangannya tanpa sengaja menyingkap belahan gaun di bagian bawah itu. Sengaja atau tidak sih?
"Eeh Di.kamu ngeliatin apaan sih?".
Blarr.., mungkin ia tahu kalau aku sedang berkonsentrasi memandang satu persatu bagian tubuhnya.
"Nnggak kok tante nggak ngeliat apa-apa".
"Lho mata kamu kayaknya mandangin tante terus. Apa ada yang salah sama tante, Di?",
Yya ampun dia tahu kalau aku sedang asyik memandanginya.
"Eh.., mm.., anu tante.., aa.., aanu.., tante.., tante", kerongkonganku seperti tercekat.
"Anu apa.., ah kamu ini ada-ada saja, kenapa..?", matanya semakin terarah pada selangkanganku, sial aku lupa pakai celana dalam.
Pantas Tante Fifi tahu kalau penisku tegang.
"Ta.., ta.., tante cantik sekali..", aku tak dapat lagi mengontrol kata-kataku.
Dan astaga, bukannya marah, Tante Fifi malah mendekati aku.
"Apa.., tante nggak salah dengar?", katanya setengah berbisik.
"Bener kok tante..".
"Tante yang seumur ini kamu bilang cantik, ah bisa aja. Atau kamu mau sesuatu dari tante?" ia memegang pundakku, terasa begitu hangat dan duh gusti buah dada yang sejak tadi kuperhatihan itu kini hanya beberapa sentimeter saja dari wajahku.
Apa aku akan dapat menyentuhnya, come on man! Dia istri pemilik pondok pesantren ini batinku berkata?Aah persetan.
Tangannya masih berada di pundakku sebelah kiri, aku masih tak bergeming. Tertunduk malu tanpa bisa mengendalikan pikiranku yang berkecamuk. Harum semerbak parfumnya semakin menggoda nafsuku untuk segera berbuat sesuatu. Kuberanikan mataku melirik lebih jelas ke arah belahan kain daster berbunga itu. Wow.., sepintas kulihat bukit di selangkangannya yang ahh, kembali aku menelan ludah.
"Kamu belum jawab pertanyaan tante lho, Di. Atau kamu mau tante jawab sendiri pertanyaan ini?".
"Nggak kok Nyai, ss.., ss.., saya jujur kalau tante memang cantik, eh.., mm.., dan menarik".
"Terus apa lagi ayo bilang.."
"Aaaku mau pegang susu Nyai." kuberanikan diriku sambil menatap kedua bola matanya yang indah itu.
"Kamu belum pernah kenal cewek yah".
"Belum, tante".
"Kalau tante kasih pelajaran gimana?".
Ini dia yang aku tunggu, ah persetan walau dia ini isteri Kiayi Fuad sahabat ayahku aku tak perduli. Anggap saja ini pelajaranku dari Tante Fifi. Dan juga.., oh aku ingin segera merasakan tubuh wanita cantik ini.
"Maksud tante.., apa?", lanjutku bertanya, pandangan kami bertemu sejenak namun aku segera mengalihkan.
"Kamu kan belum pernah pacaran nih, gimana kalau kamu tante ajarin caranya menikmati wanita..".
"Ta.., tapi tante", aku masih ragu.
"Kamu takut sama pak Kiayi suamiku? Tenang.., yang ada di rumah ini cuman kita, lho".
"Wow hebat", teriakku dalam hati.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Batinku terus berteriak tapi badanku seperti tak dapat kugerakkan. Beberapa saat kami berdua terdiam.
"Coba sini tangan kamu", aku memberikan tanganku padanya, my goodness tangan lembut itu menyentuh telapak tanganku yang kasarnya minta ampun.
"Rupanya kamu memang belum pernah nyentuh perempuan, Di. Tante tahu kamu baru beranjak remaja dan tante ngerti tentang itu", ia berkata begitu sambil mengelus punggung tanganku, aku merinding dibuatnya.
Sementara di bawah penisku yang sejak tadi sudah tegang itu mulai mengeluarkan cairan hingga menampakkan titik basah tepat di permukaan celana pendek itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar