Talita yang sekarang bekerja sebagai kasir toserba tidak memikirkan bahayanya, Talita yang umurnya masih muda 24 tahun dengan semangat mencari uang agar bisa hidup mandiri dia pun tidak memperdulikan kata orangtuanya yang takut jika anaknya jaga shift malam hingga pagi, sedangkan Talita lebih suka jika shift malam karena dia bisa belajar jarang sekali ada pembeli, siangnya dia pergi kekampus.
Sampai akhirnya pada suatu malam, Talita mendapati dirinya ditodong oleh sepucuk pistol tepat di depan matanya. Yang berambut Gondrong, dan yang satu lagi berkumis tebal. Mereka berdua, menerobos masuk membuat Talita yang sedang berkonsentrasi pada bukunya terkejut.
“Keluarin uangnya!” perintah si Gondrong, sementara si Kumis memutuskan semua kabel video dan telepon yang ada di toko itu. Tangan Talita gemetar berusaha membuka laci kasir yang ada di depannya, saking takutnya kunci itu sampai terjatuh beberapa kali.
Setelah beberapa saat, Talita berhasil membuka laci itu dan memerikan semua uang yang ada di dalamnya, sebanyak 100 ribu kepada si Gondrong, Talita tidak diperkenankan menyimpan uang lebih dari 100 ribu di laci tersebut. Karena itu setiap kelebihannya langsung dimasukan ke lemari besi. Setelah si Gondrong merampas uang itu, Talita langsung mundur ke belakang, ia sangat ketakutan kakinya lemas, hampir jatuh.
“Masa cuma segini?!” bentak si Gondrong.
“Buka lemari besinya! Sekarang!” Mereka berdua menggiring Talita masuk ke kantor manajernya dan mendorongnya hingga jatuh berlutut di hadapan lemari besi. Talita mulai menangis, ia tidak tahu nomor kombinasi lemari besi itu, ia hanya menyelipkan uang masuk ke dalam lemari besi melalui celah pintunya.
“Cepat!” bentak si Kumis, Talita merasakan pistol menempel di belakang kepalanya. Talita berusaha untuk menjelaskan kalau ia tidak mengetahui nomor lemari besi itu. Untunglah, melihat mata Talita yang ketakutan, mereka berdua percaya.
“Brengsek! Nggak sebanding sama resikonya! Iket dia, biar dia nggak bisa manggil polisi!” Talita di dudukkan di kursi manajernya dengan tangan diikat ke belakang.
Kemudian kedua kaki Talita juga diikat ke kaki kursi yang ia duduki. si Kumis kemudian mengambil plester dan menempelkannya ke mulut Talita.
“Beres! Ayo cabut!”
“Tunggu! Tunggu dulu cing! Liat dia, dia boleh juga ya?!”.
“Cepetan! Ntar ada yang tau! Kita cuma dapet 100 ribu, cepetan!”.
“Gue pengen liat bentar aja!”.
Mata Talita terbelalak ketika si Gondrong mendekat dan menarik t-shirt merah muda yang ia kenakan. Dengan satu tarikan keras, t-shirt itu robek membuat BH-nya terlihat. Payudara Talita yang berukuran sedang, bergoyang-goyang karena Talita meronta-ronta dalam ikatannya.
“Wow, oke banget!” si Gondrong berseru kagum.
“Oke, sekarang kita pergi!” ajak si Kumis, tidak begitu tertarik pada Talita karena sibuk mengawasi keadaan depan toko.
Tapi si Gondrong tidak peduli, ia sekarang meraba-raba puting susu Talita lewat BH-nya, setelah itu ia memasukkan jarinya ke belahan payudara Talita. Dan tiba-tiba, dengan satu tarikan BH Talita ditariknya, tubuh Talita ikut tertarik ke depan, tapi akhirnya tali BH Talita terputus dan sekarang payudara Talita bergoyang bebas tanpa ditutupi selembar benangpun.
“Jangan!” teriak Talita. Tapi yang tedengar cuma suara gumaman. Terasa oleh Talita mulut si Gondrong menghisapi puting susunya pertama yang kiri lalu sekarang pindah ke kanan. Kemudian Talita menjerit ketika si Gondrong mengigit puting susunya.
“Diem! Jangan berisik!” si Gondrong menampar Talita, hingga berkunang-kunang. Talita hanya bisa menangis.
“Gue bilang diem!”, sembari berkata itu si Gondrong menampar buah dada Talita, sampai sebuah cap tangan berwarna merah terbentuk di payudara kiri Talita. Kemudian si Gondrong bergeser dan menampar uang sebelah kanan. Talita terus menjerit-jerit dengan mulut diplester, sementara si Gondrong terus memukuli buah dada Talita sampai akhirnya bulatan buah dada Talita berwarna merah.
“Ayo, cepetan cing!”, si Kumis menarik tangan si Gondrong.
“Kita musti cepet minggat dari sini!” Talita bersyukur ketika melihat si Gondrong diseret keluar ruangan oleh si Kumis. Payudaranya terasa sangat sakit, tapi Talita bersyukur ia masih hidup.
Melihat sekelilingnya, Talita berusaha menemukan sesuatu untuk membebaskan dirinya. Di meja ada gunting, tapi ia tidak bisa bergerak sama sekali.
“Hey, Fajar! Tokonya kosong!”.
“Masa, cepetan ambil permen!”.
“Goblok lo, ambil bir tolol!”.
Tubuh Talita menegang, mendengar suara beberapa anak-anak di bagian depan toko. Dari suaranya ia mengetahui bahwa itu adalah anak-anak berandal yang ada di lingkungan itu. Mereka baru berusia sekitar 12 sampai 15 tahun. Talita mengeluarkan suara minta tolong.
“sstt! Lo denger nggak?!”.
“Cepet kembaliin semua!”.
“Lari, lari! Kita ketauan!”.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka menjengukkan kepalanya ke dalam kantor manajer. Ia terperangah melihat Talita, terikat di kursi, dengan t-shirt robek membuat buah dadanya mengacung ke arahnya.
“Buset!” berandal itu tampak terkejut sekali, tapi sesaat kemudian ia menyeringai.
“Hei, liat nih! Ada kejutan!”
Talita berusaha menjelaskan pada mereka, menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berusaha menjelaskan bahwa dirinya baru saja dirampok. Ia berusaha minta tolong agar mereka memanggil polisi. Ia berusaha memohon agar mereka melepaskan dirinya dan menutupi dadanya.
Tapi yang keluar hanya suara gumanan karena mulutnya masih tertutup plester. Satu demi satu berandalan itu masuk ke dalam kantor.
Satu, kemudian dua, lalu tiga. Empat. Lima! Lima wajah-wajah dengan senyum menyeringai sekarang mengamati tubuh Talita, yang terus meronta-ronta berusaha menutupi tubuhnya dari pandangan mereka. Berandalan, yang berumur sekitar 15 tahun itu terkagum-kagum dengan penemuan mereka.
“Gila! Cewek nih!”.
“Dia telanjang!”.
“Tu liat susunya! susu!”.
“Mana, mana gue pengen liat!”.
“Gue pengen pegang!”.
“Pasti alus tuh!”.
“Bawahnya kayak apa ya?!”.
Mereka semua berkomentar bersamaan, kegirangan menemukan Talita yang sudah terikat erat. Kelima berandal itu maju dan merubung Talita, tangan-tangan meraih tubuh Talita.
Talita tidak tahu lagi, milik siapa tanga-tangan tersebut, semuanya berebutan mengelus pinggangnya, meremas buah dadanya, menjambak rambutnya, seseorang menjepit dan menarik-narik puting susunya.
Kemudian, salah satu dari mereka menjilati pipinya dan memasukan ujung lidahnya ke lubang telinga Talita.
“Ayo, kita lepasin dia dari kursi!” Mereka melepaskan ikatan pada kaki Talita, tapi dengan tangan masih terikat di belakang, sambil terus meraba dan meremas tubuh Talita. Melihat ruangan kantor itu terlalu kecil mereka menyeret Talita keluar menuju bagian depan toko.
Talita meronta-ronta ketika merasa ada yang berusaha melepaskan kancing jeansnya. Mereka menarik-narik jeans Talita sampai akhirnya turun sampai ke lutut. Talita terus meronta-ronta, dan akhirnya mereka berenam jatuh tersungkur ke lantai.
Sebelum Talita sempat membalikkan badannya, tiba-tiba terdengar suara lecutan, dan sesaat kemudian Talita merasakan sakit yang amat sangat di pantatnya. Talita melihat salah seorang berandal tadi memegang sebuah ikat pinggang kulit dan bersiap-siap mengayunkannya lagi ke pantatnya!
“Bangun! Bangun!” ia berteriak, kemudian mengayunkan lagi ikat pinggangnya. Sebuah garis merah timbul di pantat Talita. Talita berusaha berguling melindungi pantatnya yang terasa sakit sekali. Tapi berandal tadi tidak peduli, ia kembali mengayunkan ikat pinggang tadi yang sekarang menghajar perut Talita.
“Bangun! naik ke sini!” berandal tadi menyapu barang-barang yang ada di atas meja layan hingga berjatuhan ke lantai. Talita berusaha bangun tapi tidak berhasil.
Lagi, sebuah pukulan menghajar buah dadanya. Talita berguling dan berusaha berdiri dan berhasil berlutut dan berdiri. Berandal tadi memberikan ikat pinggang tadi kepada temannya. “Kalo dia gerak, pukul aja!”
Langsung saja Talita mendapat pukulan di pantatnya. Berandal-berandal yang lain tertawa dan bersorak. Mereka lalu mendorong dan menarik tubuhnya, membuat ia bergerak-gerak sehingga mereka punya alasan lagi buat memukulnya.
Berandal yang pertama tadi kembali dengan membawa segulung plester besar. Ia mendorong Talita hingga berbaring telentang di atas meja. Pertama ia melepaskan tangan Talita kemudian langsung mengikatnya dengan plester di sudut-sudut meja, tangan Talita sekarang terikat erat dengan plester sampai ke kaki meja.
Selanjutnya ia melepaskan sepatu, jeans dan celana dalam Talita dan mengikatkan kaki-kaki Talita ke kaki-kaki meja lainnya. Sekarang Talita berbaring telentang, telanjang bulat dengan tangan dan kaki terbuka lebar menyerupai huruf X.
“Waktu Pesta!” berandal tadi lalu menurunkan celana dan celana dalamnya. Mata Talita terbelalak melihat penisnya menggantung, setengah keras sepanjang 20 senti.
Berandal tadi memegang pinggul Talita dan menariknya hingga mendekati pinggir meja. Kemudian ia menggosok-gosok penisnya hingga berdiri mengacung tegang.
“Waktunya masuk!” ia bersorak sementara teman-teman lainnya bersorak dan tertawa. Dengan satu dorongan keras, penisnya masuk ke vagina Talita. Talita melolong kesakitan. Air mata meleleh turun, sementara berandal tadi mulai bergerak keluar masuk.
Temannya naik ke atas meja, menduduki dada Talita, membuat Talita sulit bernafas. Kemudian ia melepaskan celananya, mengeluarkan penisnya dari celana dalamnya. Plester di mulut Talita ditariknya hingga lepas.
Talita berusaha berteriak, tapi mulutnya langsung dimasuki oleh penis berandal yang ada di atasnya. Langsung saja, penis tadi mengeras dan membesar bersamaan dengan keluar masuknya penis tadi di mulut Talita.
Pandangan Talita berkunang-kunang dan merasa akan pingsan, ketika tiba-tiba mulutnya dipenuhi cairan kental, yang terasa asin dan pahit. Semprotan demi semprotan masuk, tanpa bisa dimuntahkan oleh Talita. Talita terus menelan cairan tadi agar bisa terus mengambil nafas.
Berandal yang duduk di atas dada Talita turun ketika kemudian, berandal yang sedang meperkosanya di pinggir meja bergerak makin cepat. Ia memukuli perut Talita, membuat Talita mengejang dan vaginanya berkontraksi menjepit penisnya.
Ia kemudian memegang buah dada Talita sambil terus bergerak makin cepat, ia mengerang-erang mendekati klimaks. Tangannya meremas dan menarik buah dada Talita ketika tubuhnya bergetar dan sperma pun menyemprot keluar, terus-menerus mengalir masuk di vagina Talita.
Sementara itu berandal yang lainnya berdiri di samping meja dan melakukan masturbasi, ketika pimpinan mereka mencapai puncaknya mereka juga mengalami ejakulasi bersamaan. Sperma mereka menyemprot keluar dan jatuh di muka, rambut dan dada Talita.
Talita tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, ketika tahu-tahu ia kembali sendirian di toko tadi, masih terikat erat di atas meja. Ia tersadar ketika menyadari dirinya terlihat jelas, jika ada orang lewat di depan tokonya.
Talita meronta-ronta membuat buah dadanya bergoyang-goyang. Ia menangis dan meronta berusaha melepaskan diri dari plester yang mengikatnya. Setelah beberapa lama mencoba Talita berhasil melepaskan tangan kanannya. Kemudian ia melepaskan tangan kirinya, kaki kanannya. Tinggal satu lagi.
“Wah, wah, wah!” terdengar suara laki-laki di pintu depan. Talita terkejut dan berusaha menutupi dada dan vaginanya dengan kedua tangannya.
“Tolong saya!” ratap Talita.
“Tolong saya Pak! Toko saya dirampok, saya diikat dan diperkosa! Tolong saya Pak, panggilkan polisi!”
“Nama lu Talita kan?” tanya laki-laki tadi.
“Bagaimana bapak tahu nama saya?” Talita bingung dan takut.
“Gue Fajar. Orang yang kerjaannya di toko ini lo rebut!”.
“Saya tidak merebut pekerjaan bapak. Saya tahu dari iklan di koran. Saya betul-betul tidak tahu pak! Tolong saya pak!”.
“Gara-gara lo ngelamar ke sini gue jadi dipecat! Gue nggak heran lo diterima kalo liat bodi lo”.
Talita kembali merasa ketakutan melihat Fajar, seseorang yang belum pernah dilihat dan dikenalnya tapi sudah membencinya.
Talita kembali berusaha melepaskan ikatan di kaki kirinya, membuat Raoy naik pitam. Ia menyambar tangan Talita dan menekuknya ke belakang dan kembali diikatnya dengan plester, dan plester itu terus dilitkan sampai mengikat ke bahu, hingga Talita betul-betul terikat erat. Ikatan itu membuat Talita kesakitan, ia menggeliat dan buah dadanya semakin membusung keluar.
“Lepaskan! Sakit! aduuhh! Saya tidak memecat bapak! Kenapa saya diikat?”
“Gue tadinya mau ngerampok nih toko, cuma kayaknya gue udah keduluan. Jadi gue rusak aja deh nih toko”.
Ia kemudian melepaskan ikatan kaki Talita sehingga sekarang Talita duduk di pinggir meja dengan tangan terikat di belakang. Kemudian diikatnya lagi dengan plester.
Kemudian Fajar mulai menghancurkan isi toko itu, etalase dipecahnya, rak-rak ditendang jatuh. Kemudian Fajar mulai menghancurkan kotak pendingin es krim yang ada di kanan Talita. Es krim beterbangan dilempar oleh Fajar.
Beberapa di antaranya mengenai tubuh Talita, kemudian meleleh mengalir turun, melewati punggungnya masuk ke belahan pantatnya. Di depan, es tadi mengalir melalui belahan buah dadanya, turun ke perut dan mengalir ke vagina Talita.
Rasa dingin juga menempel di buah dada Talita, membuat putingnya mengeras san mengacung. Ketika Fajar selesai, tubuh Talita bergetar kedinginan dan lengket karena es krim yang meleleh.
“Lo keliatan kedinginan!” ejek Fajar sambil menyentil puting susu Talita yang mengeras kaku.
“Gue musti kasih lo sesuatu yang anget.”
Fajar kemudian mendekati wajan untuk mengoreng hot dog yang ada di tengah ruangan. Talita melihat Fajar mendekat membawa beberapa buah sosis yang berasap. “Jangaann!” Talita berteriak ketika Fajar membuka bibir vaginanya dan memasukan satu sosis ke dalam vaginanya yang terasa dingin karena es tadi. Kemudian ia memasukan sosis yang kedua, dan ketiga.
Sosis yang keempat putus ketika akan dimasukan. Vagina Talita sekarang diisi oleh tiga buah sosis yang masih berasap. Talita menangis kesakitan kerena panas yang dirasakannya.
“Keliatannya nikmat!” Fajar tertawa.
“Tapi gue lebih suka dengan mustard!” Ia mengambil botol mustard dan menekan botol itu. Cairan mustard keluar menyemprot ke vagina Talita. Talita menangis terus, melihat dirinya disiksa dengan cara yang tak terbayangkan olehnya.
Sambil tertawa Fajar melanjutkan usahanya menghancurkan isi toko itu. Talita berusaha melepaskan diri, tapi tak berhasil. Nafasnya tersengal-sengal, ia tidak kuat menahan semua ini. Tubuh Talita bergerak lunglai jatuh.”
“Hei! Kalo kerja jangan tidur!” bentak Fajar sambil menampar pipi Talita.
“Lo tau nggak, daerah sini nggak aman jadi perlu ada alarm.”
Talita meronta ketakutan melihat Fajar memegang dua buah jepitan buaya. Jepitan itu bergigi tajam dan jepitannya keras sekali. Fajar mendekatkan satu jepitan ke puting susu kanan Talita, menekannya hingga terbuka dan melepaskannya hingga menutup kembali menjepit puting susu Talita.
Talita menjerit dan melolong kesakitan, gigi jepitan tadi menancap ke puting susunya. Kemudian Fajar juga menjepit puting susu yang ada di sebelah kiri. Air mata Talita bercucuran di pipi.
Kemudian Fajar mengikatkan kawat halus di kedua jepitan tadi, mengulurnya dan kemudian mengikatnya ke pegangan pintu masuk. Ketika pintu itu didorong Fajar hingga membuka keluar, Talita merasa jepitan tadi tertarik oleh kawat, dan membuat buah dadanya tertarik dan ia menjerit kesakitan.
“Nah, udah jadi. Lo tau kan pintu depan ini bisa buka ke dalem ama keluar, tapi bisa juga disetel cuma bisa dibuka dengan cara ditarik bukan didorong. Jadi gue sekarang pergi dulu, terus nanti gue pasang biar pintu itu cuma bisa dibuka kalo ditarik.
Nanti kalo ada orang dateng, pas dia dorong pintu kan nggak bisa, pasti dia coba buat narik tuh pintu, nah, pas narik itu alarmnya akan bunyi!”
“Jangan! saya mohoon! mohon! jangan! jangan! ampun!”
Fajar tidak peduli, ia keluar dan tidak lupa memasang kunci pada pintu itu hingga sekarang pintu tadi hanya bisa dibuka dengan ditarik. Talita menangis ketakutan, puting susunya sudah hampir rata, dijepit. Ia meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan.
Tubuh Talita berkeringat setelah berusaha melepaskan diri tanpa hasil. Lama kemudian terlihat sebuah bayangan di depan pintu, Talita melihat ternyata bayangan itu milik gelandangan yang sering lewat dan meminta-minta.
Gelandangan itu melihat tubuh Talita, telanjang dengan buah dada mengacung.
Gelandang itu mendorong pintu masuk. Pintu itu tidak terbuka. Kemudian ia meraih pegangan pintu dan mulai menariknya.
Talita berusaha menjerit “Jangan! jangan! jangan buka! jangaann!”, tapi gelandangan tadi tetap menarik pintu, yang kemudian menarik kawat dan menarik jepitan yang ada di puting susunya.
Gigi-gigi yang sudah menancap di daging puting susunya tertarik, merobek puting susunya. Talita menjerit keras sekali sebelum jatuh di atas meja. Pingsan.
Talita tersadar dan menjerit. Sekarang ia berdiri di depan meja kasir. Tangannya terikat ke atas di rangka besi meja kasir. Sedangkan kakinya juga terikat terbuka lebar pada kaki-kaki meja kasir. Ia merasa kesakitan.
Puting susunya sekarang berwarna ungu, dan menjadi sangat sensitif. Udara dingin saja membuat puting susunya mengacung tegang. Memar-memar menghiasi seluruh tubuhnya, mulai pinggang, dada dan pinggulnya. Talita merasakan sepasang tangan berusaha membuka belahan pantatnya dari belakang.
Sesuatu yang dingin dan keras berusaha masuk ke liang anusnya. Talita menoleh ke belakang, dan ia melihat gelandangan tadi berlutut di belakangnya sedang memegang sebuah botol bir.
“Jangan, ampun! Lepaskan saya pak! Saya sudah diperkosa dan dipukuli! Saya tidak tahan lagi.”
“Tapi Mbak, pantat Mbak kan belon.” gelandangan itu berkata tidak jelas.
“Jangan!” Talita meronta, ketika penis gelandangan tadi mulai berusaha masuk ke anusnya. Setelah beberapa kali usaha, gelandangan tadi menyadari penisnya tidak bisa masuk ke dalam anus Talita. Lalu ia berlutut lagi, mengambil sebuah botol bir dari rak dan mulai mendorong dan memutar-mutarnya masuk ke liang anus Talita.
Talita menjerit-jerit dan meronta-ronta ketika leher botol bir tadi mulai masuk dengan keadaan masih mempunyai tutup botol yang berpinggiran tajam. Liang anus Talita tersayat-sayat ketika gelandangan tadi memutar-mutar botol dengan harapan liang anus Talita bisa membesar.
Setelah beberapa saat, gelandangan tadi mencabut botol tadi. Tutup botol bir itu sudah dilapisi darah dari dalam anus Talita, tapi ia tidak peduli. Gelandang itu kembali berusaha memasukan penisnya ke dalam anus Talita yang sekarang sudah membesar karena dimasuki botol bir.
Gelandang tadi mulai bergerak kesenangan, sudah lama sekali ia tidak meniduri perempuan, ia bergerak cepat dan keras sehingga Talita merasa dirinya akan terlepar ke depan setiap gelandangan tadi bergerak maju.
Talita terus menangis melihat dirinya disodomi oleh gelandangan yang mungkin membawa penyakit kelamin, tapi gelandangan tadi terus bergerak makin makin cepat, tangannya meremas buah dada Talita, membuat Talita menjerit karena puting susunya yang terluka ikut diremas dan dipilih-pilin.
Akhirnya dengan satu erangan, gelandang tadi orgasme, dan Talita merakan cairan hangat mengalir dalam anusnya, sampai gelandangan tadi jatuh terduduk lemas di belakang Talita.
“Makasih ya Mbak! Saya puas sekali! Makasih.” gelandangan tadi melepaskan ikatan Talita. Kemudian ia mendorong Talita duduk dan kembali mengikat tangan Talita ke belakang, kemudian mengikat kaki Talita erat-erat.
Kemudian tubuh Talita didorongnya ke bawah meja kasir hingga tidak terlihat dari luar.
Sambi terus mengumam terima kasih gelandangan tadi berjalan sempoyongan sambil membawa beberapa botol bir keluar dari toko.
Talita terus menangis, merintih merasakan sperma gelandangan tadi mengalir keluar dari anusnya. Lama kemudian Talita jatuh pingsan kelelahan dan shock. Ia baru tersadar ketika ditemukan oleh rekan kerjanya yang masuk pukul 6 pagi.
“Keluarin uangnya!” perintah si Gondrong, sementara si Kumis memutuskan semua kabel video dan telepon yang ada di toko itu. Tangan Talita gemetar berusaha membuka laci kasir yang ada di depannya, saking takutnya kunci itu sampai terjatuh beberapa kali.
Setelah beberapa saat, Talita berhasil membuka laci itu dan memerikan semua uang yang ada di dalamnya, sebanyak 100 ribu kepada si Gondrong, Talita tidak diperkenankan menyimpan uang lebih dari 100 ribu di laci tersebut. Karena itu setiap kelebihannya langsung dimasukan ke lemari besi. Setelah si Gondrong merampas uang itu, Talita langsung mundur ke belakang, ia sangat ketakutan kakinya lemas, hampir jatuh.
“Masa cuma segini?!” bentak si Gondrong.
“Buka lemari besinya! Sekarang!” Mereka berdua menggiring Talita masuk ke kantor manajernya dan mendorongnya hingga jatuh berlutut di hadapan lemari besi. Talita mulai menangis, ia tidak tahu nomor kombinasi lemari besi itu, ia hanya menyelipkan uang masuk ke dalam lemari besi melalui celah pintunya.
“Cepat!” bentak si Kumis, Talita merasakan pistol menempel di belakang kepalanya. Talita berusaha untuk menjelaskan kalau ia tidak mengetahui nomor lemari besi itu. Untunglah, melihat mata Talita yang ketakutan, mereka berdua percaya.
“Brengsek! Nggak sebanding sama resikonya! Iket dia, biar dia nggak bisa manggil polisi!” Talita di dudukkan di kursi manajernya dengan tangan diikat ke belakang.
Kemudian kedua kaki Talita juga diikat ke kaki kursi yang ia duduki. si Kumis kemudian mengambil plester dan menempelkannya ke mulut Talita.
“Beres! Ayo cabut!”
“Tunggu! Tunggu dulu cing! Liat dia, dia boleh juga ya?!”.
“Cepetan! Ntar ada yang tau! Kita cuma dapet 100 ribu, cepetan!”.
“Gue pengen liat bentar aja!”.
Mata Talita terbelalak ketika si Gondrong mendekat dan menarik t-shirt merah muda yang ia kenakan. Dengan satu tarikan keras, t-shirt itu robek membuat BH-nya terlihat. Payudara Talita yang berukuran sedang, bergoyang-goyang karena Talita meronta-ronta dalam ikatannya.
“Wow, oke banget!” si Gondrong berseru kagum.
“Oke, sekarang kita pergi!” ajak si Kumis, tidak begitu tertarik pada Talita karena sibuk mengawasi keadaan depan toko.
Tapi si Gondrong tidak peduli, ia sekarang meraba-raba puting susu Talita lewat BH-nya, setelah itu ia memasukkan jarinya ke belahan payudara Talita. Dan tiba-tiba, dengan satu tarikan BH Talita ditariknya, tubuh Talita ikut tertarik ke depan, tapi akhirnya tali BH Talita terputus dan sekarang payudara Talita bergoyang bebas tanpa ditutupi selembar benangpun.
“Jangan!” teriak Talita. Tapi yang tedengar cuma suara gumaman. Terasa oleh Talita mulut si Gondrong menghisapi puting susunya pertama yang kiri lalu sekarang pindah ke kanan. Kemudian Talita menjerit ketika si Gondrong mengigit puting susunya.
“Diem! Jangan berisik!” si Gondrong menampar Talita, hingga berkunang-kunang. Talita hanya bisa menangis.
“Gue bilang diem!”, sembari berkata itu si Gondrong menampar buah dada Talita, sampai sebuah cap tangan berwarna merah terbentuk di payudara kiri Talita. Kemudian si Gondrong bergeser dan menampar uang sebelah kanan. Talita terus menjerit-jerit dengan mulut diplester, sementara si Gondrong terus memukuli buah dada Talita sampai akhirnya bulatan buah dada Talita berwarna merah.
“Ayo, cepetan cing!”, si Kumis menarik tangan si Gondrong.
“Kita musti cepet minggat dari sini!” Talita bersyukur ketika melihat si Gondrong diseret keluar ruangan oleh si Kumis. Payudaranya terasa sangat sakit, tapi Talita bersyukur ia masih hidup.
Melihat sekelilingnya, Talita berusaha menemukan sesuatu untuk membebaskan dirinya. Di meja ada gunting, tapi ia tidak bisa bergerak sama sekali.
“Hey, Fajar! Tokonya kosong!”.
“Masa, cepetan ambil permen!”.
“Goblok lo, ambil bir tolol!”.
Tubuh Talita menegang, mendengar suara beberapa anak-anak di bagian depan toko. Dari suaranya ia mengetahui bahwa itu adalah anak-anak berandal yang ada di lingkungan itu. Mereka baru berusia sekitar 12 sampai 15 tahun. Talita mengeluarkan suara minta tolong.
“sstt! Lo denger nggak?!”.
“Cepet kembaliin semua!”.
“Lari, lari! Kita ketauan!”.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka menjengukkan kepalanya ke dalam kantor manajer. Ia terperangah melihat Talita, terikat di kursi, dengan t-shirt robek membuat buah dadanya mengacung ke arahnya.
“Buset!” berandal itu tampak terkejut sekali, tapi sesaat kemudian ia menyeringai.
“Hei, liat nih! Ada kejutan!”
Talita berusaha menjelaskan pada mereka, menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berusaha menjelaskan bahwa dirinya baru saja dirampok. Ia berusaha minta tolong agar mereka memanggil polisi. Ia berusaha memohon agar mereka melepaskan dirinya dan menutupi dadanya.
Tapi yang keluar hanya suara gumanan karena mulutnya masih tertutup plester. Satu demi satu berandalan itu masuk ke dalam kantor.
Satu, kemudian dua, lalu tiga. Empat. Lima! Lima wajah-wajah dengan senyum menyeringai sekarang mengamati tubuh Talita, yang terus meronta-ronta berusaha menutupi tubuhnya dari pandangan mereka. Berandalan, yang berumur sekitar 15 tahun itu terkagum-kagum dengan penemuan mereka.
“Gila! Cewek nih!”.
“Dia telanjang!”.
“Tu liat susunya! susu!”.
“Mana, mana gue pengen liat!”.
“Gue pengen pegang!”.
“Pasti alus tuh!”.
“Bawahnya kayak apa ya?!”.
Mereka semua berkomentar bersamaan, kegirangan menemukan Talita yang sudah terikat erat. Kelima berandal itu maju dan merubung Talita, tangan-tangan meraih tubuh Talita.
Talita tidak tahu lagi, milik siapa tanga-tangan tersebut, semuanya berebutan mengelus pinggangnya, meremas buah dadanya, menjambak rambutnya, seseorang menjepit dan menarik-narik puting susunya.
Kemudian, salah satu dari mereka menjilati pipinya dan memasukan ujung lidahnya ke lubang telinga Talita.
“Ayo, kita lepasin dia dari kursi!” Mereka melepaskan ikatan pada kaki Talita, tapi dengan tangan masih terikat di belakang, sambil terus meraba dan meremas tubuh Talita. Melihat ruangan kantor itu terlalu kecil mereka menyeret Talita keluar menuju bagian depan toko.
Talita meronta-ronta ketika merasa ada yang berusaha melepaskan kancing jeansnya. Mereka menarik-narik jeans Talita sampai akhirnya turun sampai ke lutut. Talita terus meronta-ronta, dan akhirnya mereka berenam jatuh tersungkur ke lantai.
Sebelum Talita sempat membalikkan badannya, tiba-tiba terdengar suara lecutan, dan sesaat kemudian Talita merasakan sakit yang amat sangat di pantatnya. Talita melihat salah seorang berandal tadi memegang sebuah ikat pinggang kulit dan bersiap-siap mengayunkannya lagi ke pantatnya!
“Bangun! Bangun!” ia berteriak, kemudian mengayunkan lagi ikat pinggangnya. Sebuah garis merah timbul di pantat Talita. Talita berusaha berguling melindungi pantatnya yang terasa sakit sekali. Tapi berandal tadi tidak peduli, ia kembali mengayunkan ikat pinggang tadi yang sekarang menghajar perut Talita.
“Bangun! naik ke sini!” berandal tadi menyapu barang-barang yang ada di atas meja layan hingga berjatuhan ke lantai. Talita berusaha bangun tapi tidak berhasil.
Lagi, sebuah pukulan menghajar buah dadanya. Talita berguling dan berusaha berdiri dan berhasil berlutut dan berdiri. Berandal tadi memberikan ikat pinggang tadi kepada temannya. “Kalo dia gerak, pukul aja!”
Langsung saja Talita mendapat pukulan di pantatnya. Berandal-berandal yang lain tertawa dan bersorak. Mereka lalu mendorong dan menarik tubuhnya, membuat ia bergerak-gerak sehingga mereka punya alasan lagi buat memukulnya.
Berandal yang pertama tadi kembali dengan membawa segulung plester besar. Ia mendorong Talita hingga berbaring telentang di atas meja. Pertama ia melepaskan tangan Talita kemudian langsung mengikatnya dengan plester di sudut-sudut meja, tangan Talita sekarang terikat erat dengan plester sampai ke kaki meja.
Selanjutnya ia melepaskan sepatu, jeans dan celana dalam Talita dan mengikatkan kaki-kaki Talita ke kaki-kaki meja lainnya. Sekarang Talita berbaring telentang, telanjang bulat dengan tangan dan kaki terbuka lebar menyerupai huruf X.
“Waktu Pesta!” berandal tadi lalu menurunkan celana dan celana dalamnya. Mata Talita terbelalak melihat penisnya menggantung, setengah keras sepanjang 20 senti.
Berandal tadi memegang pinggul Talita dan menariknya hingga mendekati pinggir meja. Kemudian ia menggosok-gosok penisnya hingga berdiri mengacung tegang.
“Waktunya masuk!” ia bersorak sementara teman-teman lainnya bersorak dan tertawa. Dengan satu dorongan keras, penisnya masuk ke vagina Talita. Talita melolong kesakitan. Air mata meleleh turun, sementara berandal tadi mulai bergerak keluar masuk.
Temannya naik ke atas meja, menduduki dada Talita, membuat Talita sulit bernafas. Kemudian ia melepaskan celananya, mengeluarkan penisnya dari celana dalamnya. Plester di mulut Talita ditariknya hingga lepas.
Talita berusaha berteriak, tapi mulutnya langsung dimasuki oleh penis berandal yang ada di atasnya. Langsung saja, penis tadi mengeras dan membesar bersamaan dengan keluar masuknya penis tadi di mulut Talita.
Pandangan Talita berkunang-kunang dan merasa akan pingsan, ketika tiba-tiba mulutnya dipenuhi cairan kental, yang terasa asin dan pahit. Semprotan demi semprotan masuk, tanpa bisa dimuntahkan oleh Talita. Talita terus menelan cairan tadi agar bisa terus mengambil nafas.
Berandal yang duduk di atas dada Talita turun ketika kemudian, berandal yang sedang meperkosanya di pinggir meja bergerak makin cepat. Ia memukuli perut Talita, membuat Talita mengejang dan vaginanya berkontraksi menjepit penisnya.
Ia kemudian memegang buah dada Talita sambil terus bergerak makin cepat, ia mengerang-erang mendekati klimaks. Tangannya meremas dan menarik buah dada Talita ketika tubuhnya bergetar dan sperma pun menyemprot keluar, terus-menerus mengalir masuk di vagina Talita.
Sementara itu berandal yang lainnya berdiri di samping meja dan melakukan masturbasi, ketika pimpinan mereka mencapai puncaknya mereka juga mengalami ejakulasi bersamaan. Sperma mereka menyemprot keluar dan jatuh di muka, rambut dan dada Talita.
Talita tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, ketika tahu-tahu ia kembali sendirian di toko tadi, masih terikat erat di atas meja. Ia tersadar ketika menyadari dirinya terlihat jelas, jika ada orang lewat di depan tokonya.
Talita meronta-ronta membuat buah dadanya bergoyang-goyang. Ia menangis dan meronta berusaha melepaskan diri dari plester yang mengikatnya. Setelah beberapa lama mencoba Talita berhasil melepaskan tangan kanannya. Kemudian ia melepaskan tangan kirinya, kaki kanannya. Tinggal satu lagi.
“Wah, wah, wah!” terdengar suara laki-laki di pintu depan. Talita terkejut dan berusaha menutupi dada dan vaginanya dengan kedua tangannya.
“Tolong saya!” ratap Talita.
“Tolong saya Pak! Toko saya dirampok, saya diikat dan diperkosa! Tolong saya Pak, panggilkan polisi!”
“Nama lu Talita kan?” tanya laki-laki tadi.
“Bagaimana bapak tahu nama saya?” Talita bingung dan takut.
“Gue Fajar. Orang yang kerjaannya di toko ini lo rebut!”.
“Saya tidak merebut pekerjaan bapak. Saya tahu dari iklan di koran. Saya betul-betul tidak tahu pak! Tolong saya pak!”.
“Gara-gara lo ngelamar ke sini gue jadi dipecat! Gue nggak heran lo diterima kalo liat bodi lo”.
Talita kembali merasa ketakutan melihat Fajar, seseorang yang belum pernah dilihat dan dikenalnya tapi sudah membencinya.
Talita kembali berusaha melepaskan ikatan di kaki kirinya, membuat Raoy naik pitam. Ia menyambar tangan Talita dan menekuknya ke belakang dan kembali diikatnya dengan plester, dan plester itu terus dilitkan sampai mengikat ke bahu, hingga Talita betul-betul terikat erat. Ikatan itu membuat Talita kesakitan, ia menggeliat dan buah dadanya semakin membusung keluar.
“Lepaskan! Sakit! aduuhh! Saya tidak memecat bapak! Kenapa saya diikat?”
“Gue tadinya mau ngerampok nih toko, cuma kayaknya gue udah keduluan. Jadi gue rusak aja deh nih toko”.
Ia kemudian melepaskan ikatan kaki Talita sehingga sekarang Talita duduk di pinggir meja dengan tangan terikat di belakang. Kemudian diikatnya lagi dengan plester.
Kemudian Fajar mulai menghancurkan isi toko itu, etalase dipecahnya, rak-rak ditendang jatuh. Kemudian Fajar mulai menghancurkan kotak pendingin es krim yang ada di kanan Talita. Es krim beterbangan dilempar oleh Fajar.
Beberapa di antaranya mengenai tubuh Talita, kemudian meleleh mengalir turun, melewati punggungnya masuk ke belahan pantatnya. Di depan, es tadi mengalir melalui belahan buah dadanya, turun ke perut dan mengalir ke vagina Talita.
Rasa dingin juga menempel di buah dada Talita, membuat putingnya mengeras san mengacung. Ketika Fajar selesai, tubuh Talita bergetar kedinginan dan lengket karena es krim yang meleleh.
“Lo keliatan kedinginan!” ejek Fajar sambil menyentil puting susu Talita yang mengeras kaku.
“Gue musti kasih lo sesuatu yang anget.”
Fajar kemudian mendekati wajan untuk mengoreng hot dog yang ada di tengah ruangan. Talita melihat Fajar mendekat membawa beberapa buah sosis yang berasap. “Jangaann!” Talita berteriak ketika Fajar membuka bibir vaginanya dan memasukan satu sosis ke dalam vaginanya yang terasa dingin karena es tadi. Kemudian ia memasukan sosis yang kedua, dan ketiga.
Sosis yang keempat putus ketika akan dimasukan. Vagina Talita sekarang diisi oleh tiga buah sosis yang masih berasap. Talita menangis kesakitan kerena panas yang dirasakannya.
“Keliatannya nikmat!” Fajar tertawa.
“Tapi gue lebih suka dengan mustard!” Ia mengambil botol mustard dan menekan botol itu. Cairan mustard keluar menyemprot ke vagina Talita. Talita menangis terus, melihat dirinya disiksa dengan cara yang tak terbayangkan olehnya.
Sambil tertawa Fajar melanjutkan usahanya menghancurkan isi toko itu. Talita berusaha melepaskan diri, tapi tak berhasil. Nafasnya tersengal-sengal, ia tidak kuat menahan semua ini. Tubuh Talita bergerak lunglai jatuh.”
“Hei! Kalo kerja jangan tidur!” bentak Fajar sambil menampar pipi Talita.
“Lo tau nggak, daerah sini nggak aman jadi perlu ada alarm.”
Talita meronta ketakutan melihat Fajar memegang dua buah jepitan buaya. Jepitan itu bergigi tajam dan jepitannya keras sekali. Fajar mendekatkan satu jepitan ke puting susu kanan Talita, menekannya hingga terbuka dan melepaskannya hingga menutup kembali menjepit puting susu Talita.
Talita menjerit dan melolong kesakitan, gigi jepitan tadi menancap ke puting susunya. Kemudian Fajar juga menjepit puting susu yang ada di sebelah kiri. Air mata Talita bercucuran di pipi.
Kemudian Fajar mengikatkan kawat halus di kedua jepitan tadi, mengulurnya dan kemudian mengikatnya ke pegangan pintu masuk. Ketika pintu itu didorong Fajar hingga membuka keluar, Talita merasa jepitan tadi tertarik oleh kawat, dan membuat buah dadanya tertarik dan ia menjerit kesakitan.
“Nah, udah jadi. Lo tau kan pintu depan ini bisa buka ke dalem ama keluar, tapi bisa juga disetel cuma bisa dibuka dengan cara ditarik bukan didorong. Jadi gue sekarang pergi dulu, terus nanti gue pasang biar pintu itu cuma bisa dibuka kalo ditarik.
Nanti kalo ada orang dateng, pas dia dorong pintu kan nggak bisa, pasti dia coba buat narik tuh pintu, nah, pas narik itu alarmnya akan bunyi!”
“Jangan! saya mohoon! mohon! jangan! jangan! ampun!”
Fajar tidak peduli, ia keluar dan tidak lupa memasang kunci pada pintu itu hingga sekarang pintu tadi hanya bisa dibuka dengan ditarik. Talita menangis ketakutan, puting susunya sudah hampir rata, dijepit. Ia meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan.
Tubuh Talita berkeringat setelah berusaha melepaskan diri tanpa hasil. Lama kemudian terlihat sebuah bayangan di depan pintu, Talita melihat ternyata bayangan itu milik gelandangan yang sering lewat dan meminta-minta.
Gelandangan itu melihat tubuh Talita, telanjang dengan buah dada mengacung.
Gelandang itu mendorong pintu masuk. Pintu itu tidak terbuka. Kemudian ia meraih pegangan pintu dan mulai menariknya.
Talita berusaha menjerit “Jangan! jangan! jangan buka! jangaann!”, tapi gelandangan tadi tetap menarik pintu, yang kemudian menarik kawat dan menarik jepitan yang ada di puting susunya.
Gigi-gigi yang sudah menancap di daging puting susunya tertarik, merobek puting susunya. Talita menjerit keras sekali sebelum jatuh di atas meja. Pingsan.
Talita tersadar dan menjerit. Sekarang ia berdiri di depan meja kasir. Tangannya terikat ke atas di rangka besi meja kasir. Sedangkan kakinya juga terikat terbuka lebar pada kaki-kaki meja kasir. Ia merasa kesakitan.
Puting susunya sekarang berwarna ungu, dan menjadi sangat sensitif. Udara dingin saja membuat puting susunya mengacung tegang. Memar-memar menghiasi seluruh tubuhnya, mulai pinggang, dada dan pinggulnya. Talita merasakan sepasang tangan berusaha membuka belahan pantatnya dari belakang.
Sesuatu yang dingin dan keras berusaha masuk ke liang anusnya. Talita menoleh ke belakang, dan ia melihat gelandangan tadi berlutut di belakangnya sedang memegang sebuah botol bir.
“Jangan, ampun! Lepaskan saya pak! Saya sudah diperkosa dan dipukuli! Saya tidak tahan lagi.”
“Tapi Mbak, pantat Mbak kan belon.” gelandangan itu berkata tidak jelas.
“Jangan!” Talita meronta, ketika penis gelandangan tadi mulai berusaha masuk ke anusnya. Setelah beberapa kali usaha, gelandangan tadi menyadari penisnya tidak bisa masuk ke dalam anus Talita. Lalu ia berlutut lagi, mengambil sebuah botol bir dari rak dan mulai mendorong dan memutar-mutarnya masuk ke liang anus Talita.
Talita menjerit-jerit dan meronta-ronta ketika leher botol bir tadi mulai masuk dengan keadaan masih mempunyai tutup botol yang berpinggiran tajam. Liang anus Talita tersayat-sayat ketika gelandangan tadi memutar-mutar botol dengan harapan liang anus Talita bisa membesar.
Setelah beberapa saat, gelandangan tadi mencabut botol tadi. Tutup botol bir itu sudah dilapisi darah dari dalam anus Talita, tapi ia tidak peduli. Gelandang itu kembali berusaha memasukan penisnya ke dalam anus Talita yang sekarang sudah membesar karena dimasuki botol bir.
Gelandang tadi mulai bergerak kesenangan, sudah lama sekali ia tidak meniduri perempuan, ia bergerak cepat dan keras sehingga Talita merasa dirinya akan terlepar ke depan setiap gelandangan tadi bergerak maju.
Talita terus menangis melihat dirinya disodomi oleh gelandangan yang mungkin membawa penyakit kelamin, tapi gelandangan tadi terus bergerak makin makin cepat, tangannya meremas buah dada Talita, membuat Talita menjerit karena puting susunya yang terluka ikut diremas dan dipilih-pilin.
Akhirnya dengan satu erangan, gelandang tadi orgasme, dan Talita merakan cairan hangat mengalir dalam anusnya, sampai gelandangan tadi jatuh terduduk lemas di belakang Talita.
“Makasih ya Mbak! Saya puas sekali! Makasih.” gelandangan tadi melepaskan ikatan Talita. Kemudian ia mendorong Talita duduk dan kembali mengikat tangan Talita ke belakang, kemudian mengikat kaki Talita erat-erat.
Kemudian tubuh Talita didorongnya ke bawah meja kasir hingga tidak terlihat dari luar.
Sambi terus mengumam terima kasih gelandangan tadi berjalan sempoyongan sambil membawa beberapa botol bir keluar dari toko.
Talita terus menangis, merintih merasakan sperma gelandangan tadi mengalir keluar dari anusnya. Lama kemudian Talita jatuh pingsan kelelahan dan shock. Ia baru tersadar ketika ditemukan oleh rekan kerjanya yang masuk pukul 6 pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar