Aku mahasiswa arsitektur tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi swasta
di Bandung, dan sudah saatnya melaksanakan tugas akhir sebagai
prasyarat kelulusan. Beruntung, aku kebagian seorang dosen yang asyik
dan kebetulan adalah seorang ibu. Rani namanya, di awal umur tigapuluh,
luar biasa cantik dan cerdas. Cukup sulit untuk menggambarkan
kejelitaan sang ibu. Bersuami seorang dosen pula yang kebetulan adalah
favorit anak-anak karena moderat dan sangat akomodatif. Singkat kata
banyak teman-temanku yang sedikit iri mengetahui aku kebagian
pembimbing Ibu Rani. "Dasar lu... enak amat kebagian ibu yang cantik
jelita..." Kalau sudah begitu aku hanya tersenyum kecil, toh bisa apa
sih pikirku.
Proses asistensi dengan Ibu Rani sangat mengasyikan,
sebab selain beliau berwawasan luas, aku juga disuguhkan kemolekan
tubuh dan wajah beliau yang diam-diam
kukagumi. Makanya dibanding
teman-temanku termasuk rajin berasistensi dan progres gambarku lumayan
pesat. Setiap asistensi membawa kami berdua semakin akrab satu sama
lain. Bahkan suatu saat, aku membawakan beberapa kuntum bunga aster
yang kutahu sangat disukainya. Sambil tersenyum dia berucap, "Kamu
mencoba merayu Ibu, Rez?"
Aku ingat wajahku waktu itu langsung
bersemu merah dan untuk menghilangkan grogiku, aku langsung menggelar
gambar dan bertanya sana-sini. Tapi tak urung kuperhatikan ada binar
bahagia di mata beliau. Setelah kejadian itu setiap kali asitensi aku
sering mendapati beliau sedang menatapku dengan pandangan yang entah
apa artinya, beliau makin sering curhat tentang berbagai hal. Asistensi
jadi ngelantur ke bermacam subyek, dari masalah di kantor dosen hingga
anak tunggalnya yang baru saja mengeluarkan kata pertamanya.
Sesungguhnya aku menyukai perkembangan ini namun tak ada satu pun
pikiran aneh di benakku karena hormat kepada beliau.
Hingga...
pada saat kejadian. Suatu malam aku asistensi sedikit larut malam dan
beliau memang masih ada di kantor pukul 8 malam itu. Yang pertama
terlihat adalah mata beliau yang indah itu sedikit merah dan sembab.
"Wah, saat yang buruk nih", pikirku. Tapi dia menunjuk ke kursi dan
sedikit tersenyum jadi kupikir tak apa-apa bila kulanjutkan. Setelah
segala proses asistensi berakhir aku memberanikan diri bertanya, "Ada
apa Bu? Kok kelihatan agak sedih?"
Kelam menyelimuti lagi wajahnya meski berusaha disembunyikannya dengan senyum manisnya.
"Ah biasalah Rez, masalah."
Ya
sudah kalau begitu aku segera beranjak dan membereskan segala
kertasku. Dia terdiam lama dan saat aku telah mencapai pintu, barulah...
"Kaum Pria memang selalu egois ya Reza?"
Aku berbalik dan setelah berpikir cepat kututup kembali pintu dan kembali duduk dan bertanya hati-hati.
"Kalau
boleh saya tahu, kenapa Ibu berkata begitu? Sebab setahu saya
perempuan memang selalu berkata begitu, tapi saya tidak sependapat
karena certain individual punya ego-nya sendiri-sendiri, dan tidak bisa
digolongkan dalam suatu stereotype tertentu."
Matanya mulai
hidup dan kami beradu argumen panjang tentang subyek tersebut dan
ujung-ujungnya terbukalah rahasia perkimpoiannya yang selama ini mereka
sembunyikan. Iya, bahwa pasangan tersebut kelihatan harmonis oleh kami
mahasiswa, mereka kaya raya, keduanya berparas good looking, dan
berbagai hal lain yang bisa membuat pasangan lain iri melihat
keserasian mereka. Namun semua itu menutupi sebuah masalah mendasar
bahwa tidak ada cinta diantara mereka. Mereka berdua dijodohkan oleh
orang tua mereka yang konservatif dan selama ini keduanya hidup dalam
kepalsuan. Hal ini diperburuk oleh kasarnya perlakuan Pak Indra (suami
beliau) di rumah terhadap Bu Rani (fakta yang sedikit membuatku
terhenyak, ugh betapa palsunya manusia sebab selama ini di depan kami
beliau terlihat sebagai sosok yang care dan gentle).
Singkat kata
beliau sambil terisak menumpahkan isi hatinya malam itu dan itu semua
membuat dia sedikit lega, serta membawa perasaan aneh bagiku, membuat
aku merasa penting dan dekat dengan beliau. Kami memutuskan untuk jalan
malam itu, ke Lembang dan beliau memberi kehormatan bagiku dengan ikut
ke sedan milikku. Sedikit gugup kubukakan pintu untuknya dan tergesa
masuk lalu mengendarai mobil dengan ekstra hati-hati. Dalam perjalanan
kami lebih banyak diam sambil menikmati gubahan karya Chopin yang
mengalun lembut lewat stereo. Kucoba sedikit bercanda dan menghangatkan
suasana dan nampaknya lumayan berhasil karena beliau bahkan sudah bisa
tertawa terbahak-bahak sekarang.
"Kamu pasti sudah punya pacar ya Reza?"
"Eh eh eh", aku gelagapan.
Iya sih emang, bahkan ada beberapa, namun tentu saja aku tak akan mengakui hal tersebut di depannya.
"Nggak kok Bu... belum ada... mana laku aku, Bu..." balasku sambil tersenyum lebar.
"Huuu, bohong!" teriaknya sambil dicubitnya lengan kiriku.
"Cowok kayak kamu pasti playboy deh... ngaku aja!"
Aku
tidak bisa menjawab, kepalaku masih dipenuhi fakta bahwa beliau baru
saja mencubit lenganku. Ugh, alangkah berdebar dadaku dibuatnya. Beda
bila teman wanitaku yang lain yang mencubit.
Larut malam telah
tiba dan sudah waktunya beliau kuantar pulang setelah menikmati jagung
bakar dan bandrek berdua di Lembang. Daerah Dago Pakar tujuannya dan
saat itu sudah jam satu malam ketika kami berdua mencapai gerbang rumah
beliau yang eksotik.
"Mau nggak kamu mampir ke rumahku dulu, Rez?" ajaknya.
"Loh apa kata Bapak entar Bu?" tanyaku.
"Ah Bapak lagi ke Kupang kok, penelitian."
Hm...
benakku ragu namun senyum manis yang menghiasi bibir beliau membuat
bibirku berucap mengiyakan. Aku mendapati diriku ditarik-tarik manja
oleh beliau ke arah ruang tamu di rumah tersebut akan tetapi benakku
tak habis berpikir, "Duh ada apa ini?"
Sesampainya di dalam,
"Sst... pelan-pelan ya... Detty pasti lagi lelap." Kami beringsut masuk
ke dalam kamar anaknya dan aku hanya melihat ketika beliau mengecup
kening putrinya yang manis itu pelan. Kami berdua bergandengan memasuki
ruang keluarga dan duduk bersantai lalu mengobrol lama di sana. Beliau
menawarkan segelas orange juice. "Aduh, apa yang harus aku lakukan",
pikirku.
Entah setan mana yang merasuk diriku ketika beliau
hendak duduk kembali di karpet yang tebal itu, aku merengkuh tubuhnya
dalam sekali gerakan dan merangkulnya dalam pangkuanku. Beliau hanya
terdiam sejenak dan berucap, "Kita berdua telah sama-sama dewasa dan
tahu kemana ini menuju bukan?" Aku tak menjawab hanya mulai membetulkan
uraian rambut beliau yang jatuh tergerai dan membawa tubuh moleknya
semakin erat ke dalam pelukanku, dan kubisikkan di telinganya, "Reza
sangat sayang dan hormat pada Ibu, oleh karenanya Reza tak akan berbuat
macam-macam." Ironisnya saat itu sesuatu mendesakku untuk mengecup
lembut cuping telinga dan mengendus leher hingga ke belakang kupingnya.
Kulihat sepintas beliau menutup kelopak matanya dan mendesah lembut.
"Kau tahu aku telah lama tidak merasa seperti ini Rez..." Kebandelanku
meruyak dan aku mulai menelusuri wajah beliau dengan bibir dan lidahku
dengan sangat lembut dan perlahan. Setiap sentuhannya membuat sang ibu
merintih makin dalam dan beliau merangkul punggungku semakin erat.
Kedua tanganku mulai nakal merambah ke berbagai tempat di tubuh beliau
yang mulus wangi dan terawat.
Aku bukanlah pecinta ulung, infact
saat itu aku masih perjaka namun cakupan wawasanku tentang seks sangat
luas. "Tunggu ya Rez... ibu akan bebersih dulu." Ugh apa yang terjadi,
aku tersadar dan saat beliau masuk ke dalam, tanpa pikir panjang aku
beranjak keluar dan segara berlari ke mobil dan memacunya menjauh dari
rumah Ibu Ir. Rani dosenku, sebelum segalanya telanjur terjadi. Aku
terlalu menghormatinya dan... ah pokoknya berat bagiku untuk
mengkhianati kepercayaan yang telah beliau berikan juga suaminya.
Sekilas kulihat wajah ayu beliau mengintip lewat tirai jendela namun
kutegaskan hatiku untuk memacu mobil dan melesat ke rumah Tina.
Sepanjang
perjalanan hasrat yang telah terbangun dalam diriku memperlihatkan
pengaruhnya. Aku tak bisa konsentrasi, segala rambu kuterjang dan hanya
dewi fortuna yang bisa menyebabkan aku sampai dengan selamat ke
pavilyun Tina. Tina adalah seorang gadis yang aduhai seksi dan
menggairahkan, pacar temanku. Namun sejak dulu dia telah mengakui kalau
Tina menyukaiku. Bahkan dia telah beberapa kali berhasil memaksa untuk
bercumbu denganku. Hal yang kupikir tak ada salahnya sebagai suatu
pelatihan buatku. Aku mengetuk pintu kamar paviliunnya tanpa jawaban,
kubuka segera dan Tina sedang berjalan ke arahku, "Sendirian?" tanyaku.
Tina hanya mengangguk dan tanpa banyak ba bi bu, aku merangsek ke depan
dan kupagut bibirnya yang merah menggemaskan. Kami berciuman dalam dan
bernafsu. "Kenapa Rez?" di sela-sela ciuman kami, Tina bertanya, aku
tak menjawab dan kuciumi dengan buas leher Tina, hingga dia gelagapan
dan menjerit lirih. Tangan kananku membanting pintu sementara tangan
kiriku dengan cekatan mendekap Tina makin erat dalam pelukanku. "Brak!"
kurengkuh Tina, kuangkat dan kugendong ke arah kasur. "Ugh buas sekali
kamu Rez..." Sebuah senyum aneh menghiasi wajah Tina yang jelita.
Kurebahkan
Tina dan kembali kami berpagutan dalam adegan erotis yang liar dan
mendebarkan. Aku bergeser ke bawah dan kutelusuri kaki Tina yang
jenjang dengan bibirku dan kufokuskan pada bagian paha dalamnya.
Kukecup mesra betis kanannya. Tina hanya mengerang keenakan sambil
cekikikan lirih karena geli. Kugigit-gigit kecil paha yang putih dan
mulus memikat itu sambil tanganku tak henti membelai dan merangsang Tina
dengan gerakan-gerakan tangan dan jari yang memutar-mutar pada
payudaranya yang seksi dan ranum. Dengan sekali tarik, piyama yang
dikenakannya terlepas dan kulemparkan ke lantai, sementara aku bergerak
menindih Tina.
Kami saling melucuti hingga tak ada sehelai
benang pun yang menjadi pembatas tarian kami yang makin lama makin
liar. "Reza ahhh... Reza... Reza..." Tina terus berbisik lirih ketika
kukuakkan kedua kakinya dan aku menuju kewanitaannya yang membukit
menantang. Kusibakkan rambut pubic-nya yang lebat namun rapih dan serta
merta aromanya yang khas menyeruak ke hidungku. Bentuknya begitu
menantang sehingga entah kenapa aku langsung menyukainya. Kuhirup
kewanitaan Tina dengan keras dan lidahku mulai menelusuri pinggiran
labia minora-nya yang telah basah oleh cairan putih bening dengan wangi
pheromone menggairahkan. Kubuka kedua labia-nya dengan jemariku dan
kususupkan lidahku pelan diantaranya menyentuh klitorisnya yang telah
membesar dan kemerahan.
"Aaagh..." Tina menjerit tertahan,
sensasi yang dirasakannya begitu menggelora dan semakin membangkitkan
semangatku. Detik itu juga aku memutuskan untuk melepas status
keperjakaanku yang entah apalah artinya. Sejenak pikiranku melambung
pada Ibu Rani, ah apa yang terjadi besok? Kubuang jauh-jauh perasaan
itu dan kupusatkan perhatianku pada gadis cantik molek yang terbaring
pasrah dan menantang di hadapanku ini. Tina pun okelah. Malam ini aku
akan bercinta dengannya. Dengan ujungnya yang kuruncingkan aku
menotol-notolkan lidahku ke dalam kewanitaan Tina hingga ia melenguh
keras panjang dan pendek.
Lama, aku bermain dengan berbagai
teknik yang kupelajari dari buku. Benar kata orang tua, membaca itu
baik untuk menambah pengetahuan. Kuhirup semua cairan yang keluar
darinya dan semakin dalam aku menyusupkan lidahku menjelajahi permukaan
yang lembut itu semakin keras lenguhan yang terdengar dari bibir Tina.
Aku naik perlahan dan kuciumi pusar, perut dan bagian bawah
payudaranya yang membulat tegak menantang. Harus kuakui tubuh molek
Tina, pacar temanku ini sungguh indah. Lidahku menjelajahi permukaan
beledu itu dengan penuh perasaan hingga sampai ke puting payudaranya
yang kecoklatan. Aku berhenti, kupandangi lama hingga Tina berteriak
penasaran, "Ayo Rez... tunggu apa lagi sayang."
Aku berpaling ke
atas, di hadapanku kini wajah putih jelitanya yang kemerahan sambil
menggigit bibir bawahnya karena tak dapat menahan gejolak di dadanya.
Hmm... pemandangan yang jarang-jarang kudapat pikirku. Tanganku meraih
ke samping, kusentuh pelan putingnya yang berdiri menjulang sangat
menggairahkan dengan telunjukku. "Aaah Rez... jangan bikin aku gila,
please Rez..." Dengan gerakan mendadak, aku melahap puting tersebut
mengunyah, mempermainkan, serta memilinnya dengan lidahku yang cukup
mahir. (Aku tahu Tina sangat sensitif dengan miliknya yang satu itu,
bahkan hanya dengan itupun Tina dapat orgasme saat kami sering bercumbu
dulu). Tina menjerit-jerit kesenangan. Kebahagian melandanya hingga ia
maju dan hendak merengkuh badanku.
"Eit, tunggu dulu Non...
jangan terlalu cepat sayang", aku menjauh dan menyiksanya, biar nanti
juga tahu rasanya multi orgasme. Nafas Tina yang memburu dan keringat
mengucur deras dari pori-porinya cukup kurasa. Aku bangkit dan pergi ke
dapur kecil minum segelas air dingin. "Jaaahat Reza... jahaat..."
kudengar seruannya. Saat aku balik, tubuhnya menggigil dan tangannya
tak henti merangsang kewanitaanya. Aku benci hal itu, dan kutepis
tangannya, "Sini... biar aku..." Aku kembali ke arah wajahnya dan
kupagut bibirnya yang merah itu dan kami bersilat lidah dengan semangat
menggebu-gebu. Kuraih tubuh mungilnya dalam pelukanku dan kutindih
pinggulnya dengan badanku. "Uugh..." dia merintih di balik ciuman kami.
Kedua bibir kami saling melumat dan menggigit dengan lincahnya, seolah
saling berlomba.
Birahi dan berbagai gejolak perasaan mendesak
sangat dahsyat. Sangat intensif menggedor-gedor seluruh syaraf kami
untuk saling merangsang dan memuaskan sang lawan. Kejantananku minta
perhatian dan mendesak-desak hingga permukaannya penuh dengan guratan
urat yang sangat sensitif. Duh... saatnya kah? aku bimbang sejenak
namun kubulatkan tekadku dan dengan segera aku menjauh dari Tina. Tanpa
disuruh lagi Tina meregangkan kedua pahanya dan menyambut kesediaanku
dengan segenap hati. Punggungnya membusur dan bersiap. Sementara aku
menyiapkan batang kemaluanku dan membimbingnya menuju ke pasangannya
yang telah lumer licin oleh cairan kewanitaannya. Oh my God... sensasi
yang saat itu kurasakan sangat mendebarkan, saat-saat pertamaku.
Gigitan bibir bawah Tina menunjukkan ketidaksabarannya dan dengan kedua
betisnya dia mendesak pinggulku untuk bergerak maju ke depan. Akhirnya
keduanya menempel. Kubelai-belaikan permukaan kepala kejantananku ke
klitorisnya dan Tina meraung, masa sih begitu sensasional? Biasa
sajalah. Kudesak ke depan perlahan (aku tahu ini merupakan hal pertama
bagi dia juga) sial... mana muat? Ah pasti muat. Kusibakkan dengan
kedua jemariku sambil pinggulku mendesak lagi dengan lembut namun
mantap. Membelalak Tina ketika batang kemaluanku telah menyeruak di
antara celah kewanitaannya.
Sambil matanya mendelik, menahan
nafas dan menggigit-gigit bibir bawahnya, Tina membimbing dengan
memegang batang kemaluanku, "Hmm... Rez? jangan ragu sayang..." Dengan
mantap aku menghentakkan pinggulku ke depan agar Tina menjerit. Loh
sepertiganya telah amblas ke dalam. Hangat, basah, ketat sangat
sensasional. Pinggang kugerakkan ke kiri dan ke kanan. Sementara Tina
kepedasan dan air matanya sedikit mengintip dari ujung matanya yang
berbinar indah itu.
"Kenapa sayang?" tanyaku.
"Nggak pa-pa Rez... terusin aja sayang... Aku adalah milikmu, semuanya milikmu..."
"Sungguh..."
Aku
tahu pastilah mengharukan bagi gadis manapun meski sebandel Tina,
apabila kehilangan keperawanannya. Maka untuk menenangkannya aku
merengkuh tubuhnya dan kuangkat dalam pelukan, proses itu membuat
kemaluanku semakin dalam merasuk ke dalam Tina. Dia mendelik keenakan,
matanya yang indah merem melek dan bibirnya tak henti mendesah, "Rez
sayaaang... ugh nikmatnya." Saat itu aku sedang memikirkan Ibu Rani.
Aneh, mili demi mili batang kemaluanku menghujam deras ke dalam diri
Tina dan semakin dalam serta setiap kali aku menggerakkan pinggulku ke
kiri dan ke kanan sekujur tubuh Tina bergetar, bergidik menggelinjang
keras, lalu kudesak ke dalam sambil sesekali kutarik dan ulur. Tina
menjerit keras sekali dan kubungkam dengan ciumanku, glek... kalau
ketahuan ibu kost-nya mampus kami. Aku tak menyangka sedemikian ketatnya
kewanitaan Tina, hingga kemaluanku serasa digenggam oleh sebuah mesin
pemijat yang meski rapat namun memberikan rasa nyaman dan nikmat yang
tak terkira. Pelumasan yang kulakukan telah cukup sehingga kulit
permukaannya kuyakin tidak lecet sementara perjalanan batang kemaluanku
menuju ke akhirnya semakin dekat. Hangat luar biasa, hangat dan basah
menggairahkan, tulang-tulangku seakan hendak copot oleh rasa ngilu yang
sangat bombastis.
Perasaan ini rupanya yang sangat diimpikan
berjuta pria. "Eh... Tina sayang... kasihan kau, kelihatan sangat
menderita, meski aku tahu dia sangat menikmatinya". Wajahnya bergantian
mengerenyit dan membelalak hingga akhirnya telah cukup dalam,
kusibakkan liang kemaluan Tina-ku tersayang dengan batang kemaluanku
hingga bersisa sedikit sekali di luarnya. Tina merintih dan membisikkan
kata-kata sayang yang terdengar bagai musik di telingaku. Aku
mendenyutkan kemaluanku dan menggerakkannya ke kiri dan ke kanan
bersentuhan dengan hampir seluruh permukaan dalam rahimnya, mentokkah?
Berbagai tonjolan yang ada di dalam lubang kemaluannya kutekan dengan
kemaluanku, hingga Tina akan menjerit lagi, namun segera kubungkam lagi
dengan ciuman yang ganas pada bibirnya.
Kutindih dia, kutekan
badannya hingga melesak ke dalam kasur yang empuk dan kusetubuhi
dirinya dengan nafsu yang menggelegak. Dengan mantap dan terkendali aku
menaikkan pinggulku hingga kepala kemaluanku nyaris tersembul keluar.
Ugh, sensasinya dan segera kutekan lagi, oooh pergesekan itu luar biasa
indah dan nikmat. Gadis seksi yang ranum itu merem melek keenakan dan
ritual ini kami lakukan dengan tenang dan santai, berirama namun
dinamis. Pinggulnya yang montok itu kuraih dan kukendalikan jalannya
pertempuran hingga segalanya makin intens ketika sesuatu yang hangat
mengikuti kontraksi hebat pada otot-otot kewanitaannya meremas-remas
batang kemaluanku, serta ditingkahi bulu mata Tina yang bergetar cepat
mendahului aroma orgasme yang sedang menjelangnya. Aku pernah membaca
hal ini.
"Shhs sayang Tina... jangan dulu ya sayang ya..."
"Shhh... Reza... nggak tahan aku... Reeez... shhhh..."
"Cup cup... kalem sayang..." kukecup lembut matanya, bibirnya, hidungnya, dan keningnya.
Tina mereda, aku berhenti.
"Reza... kamu tega ih..." Tina cemberut sambil menarik-narik bulu dadaku.
"Sshhh sayangku... biar aja, entar kalo udah meledak pasti nikmat deh... minum dulu yuk sayang..."
Aku
menarik keluar batang kemaluanku, aku tak mau Tina tumpah, meski
demikian saat aku menarik kemaluanku, ia memelukku dengan kencang hingga
terasa sakit menahan sensasi luar biasa yang barusan dia rasakan.
Kalian para pembaca wanita yang pernah bercinta pasti pernah merasakan
hal itu. Sembari minum aku menarik nafas panjang dan meredakan pula
gejolak nafsuku, aku mau yang pertama ini jadi indah untuk kami berdua.
Sial, ingatanku kembali melayang ke Ibu Rani. Apa yang sekarang dia
lakukan? Bagaimana keadaan dia? Ah urusan besok sajalah. Dengan melompat
aku merambat naik lagi ke tubuh Tina yang sedang tersenyum nakal.
"Minum sayang..." dia memberengut dan minum dengan cepat.
"Ayo Reza... jangan jahat dong..."
Dengan
satu gerakan cepat aku menyelipkan diri di antara kedua kakinya seraya
membelainya cepat dan meletakkan kemaluanku ke perbukitan yang ranum
itu. Cairan putih yang kental terlihat meleleh keluar.
Kusibakkan
kewanitaannya, dan dengan cepat kutelusupkan batang kemaluanku ke
dalamnya. Ugh, berdenyut keduanya masuklah ia, dengan mantap kudorong
pinggulku mengayuh ke depan. Tina pun menyambutnya dengan suka cita.
Walhasil dengan segera dia telah masuk melewati liang yang licin basah
dan hangat itu ke dalam diri Tina dan bersarang dengan nyamannya. Maka
dimulailah tarian Tango itu. Menyusuri kelembutan beledu dan bagai
mendaki puncak perbukitan yang luar biasa indah, kami berdua bergerak
secara erotis dan ritmis, bersama-sama menggapai-gapai ke what so
called kenikmatan tiada tara. Gerakan batang kejantananku dan
pergesekannya dengan 'diri' Tina sungguh sulit digambarkan dengan
kata-kata. Kontraksi yang tadi telah reda mulai lagi mendera dan
menambah nikmatnya pijatan yang dihasilkan pada batang kemaluanku.
Tanganku menghentak menutup mulutnya saat Tina menjerit keras dan
melenguh keenakan. Lama kutahan dengan mencoba mengalihkan perhatian
kepada berbagai subyek non erotis.
Aku tiba-tiba jadi buntu,
Yap... Darwin, eksistensialist, le corbusier, pilotis, doppler, dan
Thalia. Hah, Thalia yang seksi itu loh. Duh... kembali deh ingatanku
pada persetubuhan kami yang mendebarkan ini. Ah, nikmati saja, keringat
kami yang berbaur seiring dengan pertautan tubuh kami yang seolah tak
mau terpisahkan, gerakan pinggulnya yang aduhai, aroma persetubuhan
yang kental di udara, jeritan-jeritan lirih tanpa arti yang hanya dapat
dipahami oleh dua makhluk yang sedang memadu cinta, perjalanan yang
panjang dan tak berujung. Hingga desakan itu tak tertahankan lagi
seperti bendungan yang bobol, kami berdua menjerit-jerit tertahan dan
mendelik dalam nikmat yang berusaha kami batasi dalam suatu luapan
ekspresi jiwa. Tina jebol, berulang-ulang, berantai, menjerit-jerit,
deras keluar memancarkan cairan yang membasahi dan menambah kehangatan
bagi batang kemaluanku yang juga tengah meregang-regang dan bergetar
hendak menumpahkan setampuk benih. Kontraksi otot-otot panggulnya dan
perubahan cepat pada denyutan liang kemaluannya yang hangat dan ketat
menjepit batang kemaluanku. Akh, aku tak tahan lagi.
Di
detik-detik yang dahsyat itu aku mengingat Tuhan, dosa, dan Ibu Rani
yang telah aku kecewakan, tapi hanya sesaat ketika pancaran itu mulai
menjebol tak ada yang dibenakku kecuali... kenikmatan, lega yang
mengawang dan kebahagiaan yang meluap. Aku melenguh keras dan meremas
bahu dan pantat sekal Tina yang juga tengah mendelik dan meneriakkan
luapan perasaannya dengan rintihan birahi. Berulang-ulang muncrat dan
menyembur keluar tumpah ke dalam liang senggama sang gadis manis dan
seksi itu. Geez... nikmat luar biasa. Lemas yang menyusul secara
tiba-tiba mendera sekujur tubuhku hingga aku jatuh dan menimpa Tina yang
segera merangkulku dan membisikkan kata-kata sayang. "Enak sekali
Reza, duh Gusti..." Aku menjilati lehernya dan membiarkan batang
kemaluanku tetap berbaring dan melemas di dalam kehangatan liang
kewanitaannya (ya ampun sekarang pun aku mengingat kemaluan Tina dan
aku bergidik ingin mengulang lagi).
Denyut-denyut itu masih
terasa, membelai kemaluanku dan menidurkannya dalam kelemasan dan
ketentraman yang damai. Kugigit dan kupagut puting payudara Tina dengan
gemas. Tina membalas menjewer kupingku, meski masih dalam tindihan
tubuhku.
"Reza sayang... kamu bandel banget deh... gimana kalo Rian tahu nanti Rez..."
"Iya... dan gimana Vina-ku ya?" dalam hatiku.
Ironisnya
lagi, kami selalu melakukannya berulang-ulang setiap ada kesempatan.
Bagai tak ada esok, dengan berbagai gaya dan cara tak puas-puasnya. Di
lantai, di dapur, di kasur, di bath tub, bahkan di kedinginan malam
teras belakang paviliun sambil tertawa cekikikan. Rasa khawatir
ketahuan yang diiringi kenikmatan tertentu memacu adrenalin semakin
deras, yang segalanya membuat gairah.
Tak kusangka kami terkuras
habis, lelah tak tertahan namun pagi telah menjelang dan aku harus
bertemu dengan Ibu Rani. Aku bergerak melangkah menjauhi tempat tidur
meskipun dengan lutut lemas seperti karet dan tubuhku limbung. Kamar
mandi tujuanku. Segera saja aku masuk ke dalam bath tub dan mengguyur
sekujur tubuh telanjangku dengan air dingin. Brrr... lemas yang mendera
perlahan terangkat seiring dengan bangkitnya kesadaranku. Sambil
berendam aku mengingat kembali kilatan peristiwa yang beberapa hari ini
terjadi.
Semenjak saat itu asistensiku dengan Ibu Rani
berlangsung beku, dan dia terlihat dingin sekali, sangat profesional di
hadapanku. Beliau kembali memangilku dengan anda, bukan panggilan
manja Reza lagi seperti dulu. Aku serba salah, tidak sadarkah dia kalau
aku pulang malam itu karena menghormati dan menyayanginya? Hingga dua
hari menjelang sidang akhir, dan keadaan belum membaik, gambarku
selesai namun belum mendapat persetujuan dari Bu Rani. Kuputuskan untuk
berkunjung ke rumahnya, meski aku tak pasti apakah Pak Indra ada di
sana atau tidak.
Hari itu mobilku dipinjam oleh teman dekatku,
sementara siangnya hujan rintik turun perlahan. Ugh, memang aku
ditakdirkan untuk gagal sidang kali ini. Bergegas kucegat angkot dan
dengan semakin dekatnya kawasan tempat tinggal beliau, semakin
deg-degan debar jantungku. Kucoba mengingat seluruh kejadian semalam
saat aku dan Tina bercinta untuk kesekian kalinya, untuk mengurangi
keresahanku. Aku turun dari angkot dalam derasnya hujan dan dengan
sedikit berlari aku membuka gerbang dan menerobos ke dalam pekarangan.
Basah sudah bajuku, kuyup dan bunga Aster yang kubawakan telah tak
berbentuk lagi. Kubunyikan bel dan menanti. Bagaimana kalau beliau
keluar? bagaimana kalau Pak Indra ada di rumah? dan beratus what if
berkecamuk sampai aku tak menyadari kalau wajah jelita dan tubuh molek
Ibu Rani telah berdiri beberapa meter di depanku. Saat aku sadar
senyumnya masih dingin, tapi ada rasa kasihan terbesit tampak dari
wajah keratonnya yang selama ini selalu menghiasi mimpi-mimpiku. Aku
hanya bisa menyodorkan bunga yang telah rusak itu dan berkata, "Maafkan
saya..."
Tubuhku yang menggigil kedinginan dan kuyup itu
sepertinya menggugah rasa iba di hati beliau dan aku mendapati beliau
tersenyum dan berkata, "Sudah Reza, cepat masuk, ganti baju sana... dua
hari lagi kamu sidang loh... entar kalo sakit kan Ibu juga yang
repot." Uuugh, leganya beban ini telah terangkat dari dadaku, dan aku
menghambur masuk. "Maaf Bu, saya basah kuyup." Beliau masuk ke dalam
dan segera membawakan handuk untukku. "Sana ke kamar dan ganti baju
gih, pake aja kaus-kaus Bapak." Kuberanikan diri, mendoyongkan tubuh
dan mengecup keningnya, "Terima kasih banyak Bu..." Sang ibu sedikit
terperangah dan kemudian menepis wajahku. "Sudah sana, masuk... ganti
baju kamu." Dengan sedikit cengengesan aku masuk ke dalam dan
mengeringkan tubuhku, dan mengganti baju dengan kaus yang sungguh pas
di badanku.
Segera aku keluar dan mencari Ibu Rani. Beliau sedang
berada di dapur mencoba membuatkan secangkir teh panas untukku. Aduuh,
aku sedikit terharu. Dengan beringsut aku mendekatinya dan merangkul
beliau dari belakang. Dengan ketus beliau menepis tubuhku dan menjauh.
"Reza... kamu pikir kamu bisa seenaknya saja begitu." Aku terdiam.
"Saya
minta maaf Bu, waktu itu saya pergi karena Reza tak sanggup Bu... Ibu,
orang yang paling saya hormati dan sayangi, mungkin Reza butuh waktu,
Bu..." sambil berkata demikian aku mendekatinya dan memegang pundak
kanan beliau dan memberi sedikit pijatan lembut. Beliau tergetar dan
tampak sedikit melunak.
Aku mendekat lagi, "Ibu mau maafin Reza?"
sambil kutatap tajam matanya, kemudian perlahan aku mendekatkan wajahku
ke wajah ayu sang ibu.
"Tapi Rez..."
Beliau kelihatan bingung,
namun kecupan lembutku telah bersarang lembut pada keningnya. Kurengkuh
Rani yang ranum itu dalam pelukanku dan kuusap-usapkan kelopak bibirku
pada bibirnya dan kukecup dan kugigit-gigit bibir bawahnya yang merah
merekah itu. Nafas Rani sedikit memburu dan bibirnya merekah terbuka.
Semula
sedikit pasif ciuman yang kuterima, kemudian lidahku menelusup ke
dalam dan menyentuh giginya yang putih, mencari lidahnya. Getar-getar
yang dirasakannya memaksa Rani untuk memerima lidahku dan saling
bertautlah lidah kami berdua, menari-nari dalam kerinduan dan rasa
sayang yang sulit dimengerti. Bayangkan beliau adalah dosenku yang
kuhormati, yang meskipun cantik jelita, putih dan mempesona
menggairahkan, namun tetap saja adalah orang yang seharusnya kujunjung
tinggi.
"Jangan di sini Rez, Tuti bisa datang kapan saja."
Kutebak Tuti adalah nama pembantu mereka.
"Bapak?"
"Ah biarkan saja dia", kata dosen pujaanku itu.
Ditariknya tanganku ke arah kamarnya yang mereka rancang berdua.
"Buu... Bapak di mana?"
Wanita matang yang luar biasa cantik itu berbalik bertanya, "Kenapa, kamu takut? Pulang sana, kalau kamu takut."
Ah,
kutenangkan hatiku dan yakin dia pasti juga tidak akan membiarkan ada
konfrontasi di rumah mereka. Jadi aku medahului Rani (sekarang aku
hanya memanggil beliau dengan nama Rani atas permintaannya. Di samping
itu, Rani pun tak berbeda jauh umur denganku) dan dalam satu gerakan
tangan, Rani telah ada dalam pondonganku, kemudian kuciumi wajahnya
dengan mesra, lehernya, dan sedikit belahan di dadanya. Menjelang dekat
dengan tempat peraduan, Rani kuturunkan dan aku mundur memandanginya
seperti aku memandanginya saat pertama kali. Semula Rani sedikit kikuk.
"Kenapa? Aku cantik kan?"
Rani
bergerak gemulai seolah sedang menari, duh Gusti... cantik sekali. Ia
mengenakan daster panjang berwarna light cobalt yang menerawang.
Kupastikan
Rani tidak mengenakan apa-apa lagi di baliknya. Payudaranya bulat dan
penuh terawat, pinggulnya selalu membuat para mahasiswi iri bergosip
dan mahasiswa berdecak kagum. Aku sekonyong-konyong melangkah maju dan
dengan lembut kutarik ikatan di belakang punggungnya, hingga bagaikan
adegan slow motion daster tersebut perlahan jatuh ke lantai dan
menampilkan sebuah pemandangan menakjubkan, luar biasa indah. Tubuh
telanjang Ir. Rani yang menggairahkan. Tanpa tunggu lebih lama aku
kembali melangkah ke depan dan kami berpagutan mesra, lembut dan
menuntut.
Mendesak-desak kami saling mencumbu. Ciuman terdahsyat
yang pernah kualami, sensasinya begitu memukau. Lidahnya menerobos
bibirku dan dengan penuh nafsu menyusuri permukaan dalam mulutku.
Bibirnya yang mungil dan merah merekah indah kulumat dengan lembut
namun pasti. Impian yang luar biasa ini, saat itu aku bahkan hendak
mencubit lengan kiriku untuk meyakinkan bahwa ini bukanlah mimpi. Rani
melucuti pakaianku dan meloloskan kaosku, sambil sesekali berhenti
mengagumi gumpalan-gumpalan otot pada dadaku yang cukup bidang dan
perutku yang rata karena sering didera push-up.
Kami berdua
sekarang telanjang bagai bayi. Ada sedikit ironi pada saat itu, dan
kami berdua menyadarinya dan tersenyum kecil dan saling menatap mesra.
Aku menggenggam kedua tangannya dan mengajaknya berdansa kecil, eh
norak tapi romantis. Rani tergelak dan menyandarkan kepalanya ke dadaku
dan kami ber-slow dance di sana, di kamar itu, aku dan Rani, tanpa
pakaian. Batang kemaluanku tanpa malu-malu berdiri dengan tegaknya, dan
sesekali disentil oleh tangan lentik Rani. Dengan perutnya ia mendesak
batang kemaluanku ke atas dan menempel mengarah ke atas, duh ngilu
namun sensasional.
Saat itu cukup remang karena hujan deras dan
cuaca dingin, namun rambut Rani yang indah tergerai wangi tampak jelas
bagiku. Kucium dan kubelai rambutnya sambil kubisikkan kata-kata sayang
dan cinta yang selalu dibalasnya dengan... gombal, bohong dan
cekikikan yang menggemaskan. Aku semakin sayang padanya.
Ah, aku
tak tahan lagi. Kudesak tubuh Rani ke arah pinggiran peraduan,
kubaringkan punggungnya sementara kakinya tergolek menjuntai ke arah
lantai. Aku berlulut di lantai dan mengelus-elus kaki jenjangnya yang
mulus. Dan mulai mencumbunya. Kuangkat tungkai kanannya sambil kupegang
dengan lembut, kutelusuri permukaan dalamnya dengan lidahku, perlahan
dari bawah hingga ke arah pahanya. Pada pahanya yang putih mulus aku
melakukan gerakan berputar dengan lidahku. Rani merintih kegelian. "Rez,
it feel so good, aku pengen menjerit jadinya..." Saat menuju ke
kewanitaannya yang berbulu rapi dan wangi, aku menggunakan kedua
tanganku untuk membelai-belai bagian tersebut hingga Rani melenguh
lemah. Lalu sambil menyibakkan kedua labianya, aku menggigit-gigit dan
menjepit klitorisnya yang tengah mendongak, dengan lembut sekali.
"Aduuuh Rez, aku sampai sayang..." Sejumlah besar cairan kental putih
meluncur deras keluar dari dalam liang kewanitaaannya dan dengan segera
aroma menyengat merasuk hidungku. Dengan hidungku aku mendesak-desak ke
dalam permukaan kewanitaannya. Rani menjerit-jerit tertahan.
"Rezaaa...
nggghh... Rez... aduhh..." Rani sontak bangkit meraih dan meremas
rambutku kemudian semakin menekannya ke dalam belahan dirinya yang
sedang menggelegak. Kuhirup semua cairan yang keluar dari-nya, sungguh
seksi rasanya. Aku mengenali wangi pheromone ini sangat khas dan
menggairahkan. Rani-ku tersayang juga menyukainya, sampai menitikkan
sedikit air mata. Aku naik ke atas dan menenangkan kekasih dan dosenku
itu. Dengan wajah penuh peluh Rani tetaplah mempesona. "Aduh Rez, Rani
udah lama nggak banjir kayak gitu... mungkin perasaan Rani terlalu
meluap ya sayang ya..." Dengan manja ibu yang sehari-harinya tampil
anggun itu melumat bibirku dan menciumi seluruh permukaan wajahku sambil
cekikikan. Aduuuh, aku sayang sekali sama dosenku yang satu ini.
Kudekap Rani dalam pelukanku erat demikian juga dibalasnya dengan tak
kalah gemasnya, sehingga seolah-olah kami satu.
Aku ingin begini
terus selamanya, mendekap wanita yang kusayangi ini sepanjang hayatku
kalau bisa, tapi nuraniku berbisik bahwa aku tidak dapat melakukannya.
Akhirnya kuliahku telah usai dan nilai yang memuaskan telah kuraih,
wisuda telah lama lewat, dan sekarang aku telah menjadi entrepeneur
muda.
Sekian cerita seks dari AnekaInfo77 :D
Berikan komentar pedasnya dong dibawah ini, biar semakin semangat admin nge'post cerita hot lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar